Semesta: Proses Pencarian Tuhan Oleh Manusia

By Nayanika Eleanor - Februari 06, 2022

Kenapa perlu ada proses pencarian Tuhan di bumi? Kenapa para ahli di bidangnya berlomba-lomba membuktikan keberadaan Tuhan dengan kecakapannya masing-masing?

Di blinkist kali ini, kita akan mencoba mencari tahu alasannya melalui buku yang berjudul "The Soul of the World" karya Roger Scruton.

Ambil contoh musik, seperti Simfoni 5 karya Beethoven. Pembukaan simfoni tersebut terdiri dari rangkaian not-not sederhana.

Dari sudut pandang ilmiah, not-not itu bukanlah suara yang tidak terhubung. Setiap not memiliki tingkatan yang ditentukan oleh frekuensinya.

Namun, bukan itu saja yang kita dengar. Bagi kita, not-not itu memiliki gerakan, peningkatan, dan bentuk. Kita tidak hanya mendengar suara. Kita mendengar musik dalam blinkist.

Bahasa ilmiah tidak dapat menjelaskan inti kepercayaan manusia

Orang-orang sering memandang alasan dan kepercayaan sebagai dua hal yang berseberangan. Konsep ini dilihat sebagai dua carai yang berbeda dan tidak sesuai untuk menjelaskan dunia.

Namun, ini sebenarnya adalah pengelompokan yang salah. Alasan adalah pencarian intelektual yang tujuannya untuk menggambarkan realitas secara akurat.

Sebaliknya, pencarian Tuhan adalah pencarian emosi. Ia bertujuan untuk mengajarkan kita cara hidup. Agama pastinya termasuk kepercayaan metafisika, seperti pendapat bahwa Tuhan menciptakan dunia.

Namun, yang lebih penting adalah kebutuhan emosional yang dipenuhi oleh agama, khususnya, keinginan untuk berserah diri dan tunduk.

Jadi, walaupun "penampikan" kepercayaan agama sering terjadi melalui bahasa ilmiah, hal ini sebenarnya melupakan aspek penting agama.

Penjelasan fenomena sosial dan budaya populer saat ini cenderung datang dari psikologi evolusi. 

Berdasarkan pengetahuan itu, manusia memiliki sifat untuk berevolusi yang berguna untuk beradaptasi untuk membantu manusia selamat dari kondisi lingkungan yang keras ribuan tahun yang lalu.

Agama dianggap sebagai salah satu bentuk adaptasi ini dan sangat mudah diketahui manfaatnya. Bagi seseorang, agama mengikat masyarakat sebagai satu kelompok. Ikatan kelompok yang kuat mengarah pada keamanan, kerja sama, dan pertahanan yang meningkat.

Namun, ada kesalahan dalam penjelasan ini. Penjelasan itu menunjukkan kenapa kita memiliki kecenderungan beragama, tetapi menafikan kandungan kepercayaan kita, yang disebut penulis sebagai tentang apa agama itu.

Contohnya, kenapa banyak agama cenderung percaya bahwa hanya ada satu Tuhan? Kenapa konsep penghambaan sering dimunculkan?

Satu cara terbaik untuk memahaminya adalah dengan melihat pada ketabuan yang menyelubungi hubungan sedarah.

Psikolog evolusioner berteori bahwa menolak hubungan sedarah karena tindakan tersebut mengakibatkan hasil evolusi yang buruk. Tapi tidak menjelaskan kenapa pikiran itu bisa sangat memengaruhi kita.

Dari sudut pandang evolusioner, hubungan sedarah cukup bisa menyebabkan kejijikan yang sama dengan melihat susu basi atau kotoran.

Kita tidak butuh mitos atau cerita, seperti kisah terkenal Oedipus, yang memberi tahu kita bahwa hubungan sedarah adalah bentuk polusi, merusak, atau kejahatan.

Namun, bagi beberapa orang, cerminan moral ini malah bisa merusak peringatan berhubungan yang malah bisa membuat mereka ingin melakukannya, seperti kembar Siegmund dan Sieglinde dalam mitos Norse.

Penjelasan psikologis tidak menjelaskan aspek ketabuan tentang kenapa beberapa orang sangat tertarik melakukan hal yang dilarang.

Agama adalah pertemuan antarsubjek dengan yang sukar dipahami

Suatu masalah agama telah mengganggu tradisi Yahudi, Kristen, dan Islam selama ribuan tahun. Dan itu adalah masalah "keberadaan" Tuhan.

Berdasarkan Perjanjian Lama, Tuhan ada di dunia nyata dan langsung berkomunikasi dengan penyembah-Nya. Namun, Tuhan juga turun ke dunia nyata, berada di luar ruang dan waktu yang berarti Tuhan bukanlah bagian dari kenyataan itu sendiri.

Orang yang percaya pada Tuhan paham bahwa mereka tidak bisa langsung merasakan keberadaannya. Namun, bagian penting agama ini adalah kesaksian itu.

Hal ini terjadi di semua fenomena kepercayaan, termasuk ritual, doa, dan pertemuan dengan Yang Suci. Melalui kesaksian ini, orang-orang mencari sejenis pertemuan interpersonal dengan Tuhan.

Mudah memahami sikap agamis seseorang terhadap Tuhan jika kita membandingkannya dengan cara praktisi situal magis menjelaskan alam semesta.

Kita dapat membayangkan seorang penyihir mencoba memanggil kekuatan gaib untuk merapalkan mantra. Ketika melakukannya, ia menganggap alam semesta sebagai seseorang dan mencoba memaksakan keinginannya padanya.

Ketika orang agamis menjelaskan Tuhan, mereka tidak mencoba menyesuaikan kehendak Tuhan dengannya. Namun, seperti penyihir, mereka mengalami hal yang disebut sebagai subjek, orang yang dapat diajak bicara dan memberikan permintaan.

Itulah kenapa orang agamis, dari sini, tidak terlalu sibuk dengan bukti keberadaan Tuhan. Mereka mencari pertemuan subjek ke subjek dengan Tuhan.

Maka, pencarian Tuhan adalah pencarian seseorang yang melampaui ruang dan waktu. Tapi itu meninggalkan kita pertanyaan yang sederhana tetapi membingungkan: Sebenarnya orang itu apa?

Para filsul berteori tentang hal ini selama ribuan tahun, tapi kita akan menentukan orang sebagai entitas yang berada di tengah objek dan subjek.

Dengan kata lain, orang adalah objek - benda yang dapat dikenai pekerjaan oleh dunia. Tapi dia juga merujuk pada diri mereka sendiri sebagai orang pertama - yang membuatnya sebagai subjek.

Perilaku seseorang dapat digambarkan dengan dua cara. Yang pertama melalui lensa biologis atau fisik, yang menganggap mereka sebagai objek yang menerima beragam kekuatan luar.

Yang satunya adalah lensa yang menganggap mereka sebagai subjek - yang bertanya, "Kenapa?" Lensa ini menilai motivasi di balik niat, kepercayaan, atau keinginan seseorang, bukan alasan, dan menganggap perilaku mereka sebagai sesuatu yang dapat dipahami, bukan dijelaskan.

Perbedaan ini menunjukkan dua cara melihat dunia - dualisme kognitif.

Hanya ada satu dunia, tapi dapat dipahami dengan dua cara

Bayangkan ada dua kelompok orang yang berkelahi hingga mati. Setelah pertempuran yang keras dan berdarah, salah satunya menang.

Mereka melucuti pelindung dari mayat musuh dan membawanya pulang di mana mereka akan menaruhnya di sebuah altar dan mencahayainya dengan lampu. Kenapa mereka melakukannya?

Ada dua jenis penjelasan. Pertama, mereka ingin menguasai wilayah dan melucuti siapa pun yang mengancamnya. Ini adalah pandangan biologis.

Satunya adalah pelindung tersebut adalah tropi. Bagi mereka yang pandangan hidupnya fokus pada hubungan interpersonal, bukan biologis, menginginkan tropi ini adalah alasan mereka.

Dualisme kognitiflah yang memungkinkan kita memahami satu dunia dengan dua cara berbeda: melalui lensa ilmiah atau lensa pemahaman interpersonal.

Cara kedua ini yang akan lebih kita bahas di paragraf selanjutnya. Yang membantu menjadi kenapa manusia perlu melakukan pencarian Tuhan. Jadi, kita perlu memahaminya lebih dalam.

Ketika kita menggunakan lensa pemahaman interpersonal, kita melihat Lebenswelt. Istilah ini, dipopulerkan oleh filsuf Edmund Husserl, berarti "dunia kehidupan."

Lebenswelt lebih condong pada alasan, bukan sebab, dan hubungan antarorang, bukannya perilaku organisme biologis.

Perbedaan dua cara memahami ini jelas ketika kita memperhatikan seni. Melalui lensa ilmiah, lukisan adalah serangkaian pigmen dengan warna berbeda. Tapi menurut Lebenswelt, subjek lukisan yang lebih diperhatikan.

Hal ini membawa kita kembali pada topik orang. Bagaimana seseorang yang sadar muncul dari serangkaian proses fisik?

Pengetahuan tidak bisa menjelaskannya. Bahkan jika kita memiliki penjelasan neurologis terkait kesadaran diri dan pengetahuan diri, penjelasannya akan menjadi seputar ganglia dan syaraf, bukan bahasa kebebasan memilih dan tanggung jawab.

Kedua konsep ini hanya ada dalam Lebenswelt. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada hal yang disebut kehendak atau pertanggungjawaban, yang ada hanya biologi.

Dualisme kognitif tidak meminta kita untuk melupakan biologi. Ia memberikan kita cara kedua untuk memahami realitas: melalui pengetahuan diri sebagai pusat pikiran dan tindakan bebas dan bertanggung jawab.

Ilmu syaraf tidak bisa menjelaskan tempat subjektivitas berada

Sejauh ini, kita telah berbicara tentang subjektivitas seseorang dan dualisme kognitif yang membuat kita melihat diri sebagai organisme biologis dan agen tindakan bebas dan bertanggung jawab.

Tentunya masih ada pertanyaan tersisa: Apakah cara tidak ilmiah yang membuat kita memahami sifat seseorang, seperti kebebasan dan tanggung jawab, hanyalah fiksi yang kita buat?

Ada beberapa percobaan yang membuktikan yang terjadi di otak ketika manusia memilih antara dua tindakan berbeda. Pusat motorik tertentu menyala dan setelahnya barulah manusia menyebutkan keputusan itu.

Sering kali, orang-orang memandang penelitian ini dan menyimpulkan bahwa otak kita benar-benar menyetir kita dan kita tidak memiliki kehendak bebas. Apakah simpulan itu sesuai?

Alasan yang membuat kurangnya kehendak bebas adalah simpulan yang salah kembali ke pertanyaan "Kenapa?" Subjek dapat menjawab pertanyaan ini dan membuatnya bertanggung jawab akan tindakannya.

Tidak ada bagian dari otaknya yang dapat kita tunjuk untuk menjelaskan klaim tindakannya - tidak ada yang bisa menentukan dimana ke"aku"-annya berada.

Namun, kita masih mencari ke"aku"-annya melalui perilaku kita terhadapnya. Penulis menggambarkan hubungan ini sebagai sengaja bereaksi berlebihan pada perilaku interpersonal. Sebut saja, kesengajaan aku-kamu.

Istilah ini menjelaskan cara kita mencari subjektivitas lain, di mana kita bukan melihat pada tapi ke dalam benda. Ketika melakukannya, kita mencari tempat yang tidak nyata dan tidak diketahui dari sudut pandang di mana orang lain melihat kita sebagai subjek.

Mengingat kita memahami diri sebagai subjek, begitulah kita memandang orang lain. Kita berpikir mereka bertindak dari pusat diri dan kita juga melakkannya bahkan jika kehendak bebas kita sebenarnya adalah mitos.

Hal itu berhubungan dengan alasan kenapa sangat sulit menerima sudut pandang psikologis evolusioner tentang kondisi manusia.

Ketika kita ikut serta dalam ritual, kecintaan, seni, dan sebagainya terkait agama, segala yang menyentuh hati kita, kita berusaha memahami hal lain melalui subjektivitas aku-kamu.

Di sisi lain, pendidikan moral mengajarkan kita untuk selalu memandang orang lain sebagai subjek, walaupun ketika sedang sulit. Jika dibiarkan, kita sangat merugikan kemanusiaan.

Pentingnya mempertahankan ikatan

Apa yang membedakan manusia dengan binatang? Salah satunya adalah kemampuan kita menggunakan bahasa untuk membuat janji, komitmen, dan tanggung jawab.

Melalui tindak tutur, kita dapat menciptakan situasi. Misalnya, saya berjanji untuk mengunjungi Anda besok. Kita mengatakannya, saya membuat kewajiban untuk mengunjungi Anda.

Versi besarnya adalah membuat undang-undang. Ketika DPR menerapkan undang-undang, peraturan menciptakan kewajiban mengikat bagi seluruh anggota masyarakat.

Melalui undang-undang dan institusi negara, manusia mendapatkan kebebasan. Kontrak dan kewajiban itu baik dan penting. Tapi masalah yang muncul ketika kita mulai menerapkan lensa kontrak ini ke seluruh hubungan kita.

Ketika menentukan hak, kita mengidentifikasi hal khusus sebagai sesuatu yang berada dalam batasan "aku" atau "milikku". Jika saya berhak duduk di suatu ruangan, Anda tidak bisa memaksa saya keluar tanpa menyalahi saya.

Hak adalah poin yang dapat dinegosiasikan dan disetujui. Hak memungkinkan kita membangun masyarakat berbasis persetujuan.

Beberapa ikatan masyarakat mengharuskan adanya kontrak dan negosiasi, tapi lainnya tidak, seperti persahabatan dan cinta.

Kita bisa menyebutnya ikatan transenden karena mereka tidak berakhir setelah periode waktu tertentu atau setelah kontrak disalahi atau dipenuhi.

Janji mengikat orang di dalam takdir bersama. Melaluinya, kita berdedikasi dan memberikan hadiah pada diri kita. Pernikahan adalah contohnya.

Secara tradisional, pernikahan bersifat kontrak: jalan menuju kondisi sosial baru. Dari dalam pernikahan, itu dilihat sebagai janji - ikatan eksistensial.

Namun, beberapa tahun belakangan aspek kontrak pernikahan itu meredup. Sekarang, pernikahan lebih seperti kesepatakan yang dinegosiasikan dari pandangan tradisional dan pernikahan itu sendiri.

Itu adalah masalah karena masyarakat membutuhkan pernikahan lebih dari sekadar kontrak. Pernikahan kontrak adalah yang ditentukan atau tidak ditentukan orangtua ketika membesarkan anak bersama.

Dalam pandangan penulis, masyarakat membangun keyakinan bahwa pernikahan sebagai pilihan hidup tidak memberikan keamanan bagi anak-anak mereka.

Secara umum, masyarakat yang didominasi oleh ikatan kontrak menjadi dipenuhi oleh keinginan egois. Itu adalah tempat di mana semua kewajiban kita dapat dibatalkan atau dibatasi.

Lingkungan mencerminkan perilaku kita terhadap diri kita

Aristoteles berpendapat bahwa entitas tertentu hanya bisa dipahami dengan melihat bentuk akhirnya, atau caranya membangun diri untuk sampai ke sana.

Biji mangga, misalnya. Intinya, itu adalah pohon mangga, tidak tidak ada yang menghalangi, biji itu pasti akan tumbuh menjadi pohon mangga, bukan pohon durian.

Manusia juga seperti itu. Tujuan kita adalah menjadi manusia. Bagaimana cara kita tumbuh menjadi manusia? Dengan membangun tempat di mana kita tinggal dan secara metafisika terhubung dengannya.

Immanuel Kant berpendapat bahwa penampilan bukan sekadar kenyataan empiris. Malah, itu adalah produk interaksi antara subjek dan objek. Sikap yang kita tunjukkan ke objek adalah kontemplasi.

Ketika melihat pada sesuatu yang indah, kita menggunakan kesadaran kita dan menikmatinya. Arsitektur suci adalah contoh terbaik untuk hal ini.

Tempat seperti kuil atau gereja mengatakan bahwa subjektivitas Tuhan ke"aku"-annya berada di sana. Batu itu hidup karena keberadaan-Nya, walaupun, sebenarnya, Tuhan tidak benar-benar ada di sana.

Di masa lalu, bangunan dibangun dengan wajah dan ekspresi - dengan kata lain, subjektivitas. Bangunan tradisional, dengan wajah-wajah itu, membuat cara memandang ruang di hadapan mereka.

Itu adalah bukti kehidupan dan tempat di mana kehidupan bisa bersimpangan. Bangunan tempat kita tinggal sering kali merupakan objek tanpa wajah, dan akhirnya, kita menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Kita mencari dan mendapatkan arti dari subjek dalam musik klasik

Tidak seperti dalam pengetahuan, tidak ada metode yang memberi tahu kita cara memahami seni. Ketika kita membaca atau menonton teater Shakespeare, kita tidak melakukan percobaan untuk memahaminya.

Ketika kita memikirkan David karya Michelangelo, kita tidak berusaha memahaminya dengan memeriksa struktur kristal dari marmer.

Namun, psikolog evolusioner sekarang mencoba menerapkan ilmu di tempat yang tidak seharusnya. Mereka mengatrakan bahwa seni, musik, dan sastra hanyalah adaptasi yang dibuat untuk membantu kita meneruskan gen - dan hanya itu.

Penjelasan ini bahaya karena ia memberi tahu bahwa tidak ada pentingnya memahami kemanusiaan. Ide itu berkata bahwa kemanusiaan hanya perlu dijelaskan.

Ia mengajari kita untuk mengabaikan dan menyepelekan subjek dalam seni. Dengan kata lain, ia memberi tahu kita untuk menghilangkan segala sesuatu yang bisa memberi kita arti.

Contohnya, kenapa Beethoven mengakhiri sebuah frasa musik dengan cara tertentu? Mungkin untuk mendapatkan perasaan dekat dan menyiapkan pendengar pada peralihan ke not berbeda. Tapi kenapa ia ingin berpindah ke not baru itu?

Kita bisa terus mengejar pertanyaan terkait musik ini dan menguak kebenarannya. Dalam proses itu, kita mulai memahami bahwa musik sebenarnya tengah menceritakan bahwa ia memiliki subjektivitas. Nyatanya, subjektivitas itu adalah satu-satunya yang kita cari ketika sedang mendengarkan musik.

Ketika mendengar not, kita mendengar yang lebih dari susunannya menuju ke subjektivitas yang bisa mereka tunjukkan.

Ketika kita berbicara tentang suatu musik, kita sering membicarakan karakternya. Dan kita memahami karakter itu melalui pengalaman pribadi kita dengannya.

Masalah dalam cara bahwa budaya musik kita telah begitu berubah dari yang sangat menghargai musik rumit ke satu yang memprioritaskan ritme pendek dan dapat ditebak dan harmoni instan.

Ketika berdansa mendengarkan musik, kita sering melakukannya secara berulang dan mirip mesin. Sering kali, kita berdansa karena orang lain bukan bersama orang lain.

Musik moderen, penulis berpendapat, tidak menginspirasi kita untuk meresponsnya dengan simpati. Artinya, kita kehilangan pendidikan emosi penting.

Ketika kita mengikuti subjektivitas kita dengan musik baru itu, emosi itu menjadi bagian dari hidup dalam kita.

Emosi bisa mulai muncul melalui interaksi, menambah nuansa ke hubungan emosional kita, dan menunjukkan bahwa kita tidak sendirian.

Pencarian Tuhan membantu kita menghadapi beban hidup dan mati

Dalam Fisika, apa pun yang kita pandang sebagai "objek" adalah susunan materi yang tersusun dari materi tunggal menjadi ketunggalan lain. Hukum menyatakan bahwa materi itu kekal, tidak dibuat pun hancur, tapi dapat berubah.

Namun, dalam hidup kita, kita terus berhadapan dengan situasi yang terasa seperti penciptaan atau penghancuran. Yang paling sulit dipahami dan dicerna adalah kematian.

Kita tidak dapat lari dari keyakinan subjektivitas kita, tapi kita tahu bahwa suatu hari, bahwa subjektivitas akan berakhir.

Jika, sebagaimana yang dikatakan penulis, ilmu pengetahuan mencari sebab dan agama mencari alasan, sesuai bila dikatakan bahwa agama menjawab "Kenapa?" universal. Agama mengatakan bahwa titik akhir pencarian alasan adalah Tuhan.

"Kenapa?" adalah pertanyaan yang sering kita tanyakan saat krisis: ketika kita menghadapi kehidupan, kematian, atau penderitaan.

Pengetahuan hanya menjawab sebab, sedangkan kepercayaan dapat menunjukkan bahwa hal itu adalah pemberian dari Tuhan, pemberian yang memiliki alasan.

Hadiah itu penting untuk pengalaman kita terkait Yang Suci. Nyatanya, kita perlu melihat hal sebagai hadiah sebelum menjadi suci. Ide ini diyakini dengan berlebihan dalam cerita Perjanjian Lama tentang Ibrahim.

Tuhan meminta Ibrahim untuk mengorbankan anak kesayangannya, tapi untuk mempersiapkan itu, Ibrahim sadar bahwa anaknya adalah pemberian Tuhan. Dan itu adalah kebenaran agamis mendasar: makhluk bukanlah kebetulan, melainkan pemberian.

Para ateis dan agnostik boleh berterima kasih atas pemberian makhluk ini dengan cara mereka sendiri. Jadi, apa tujuan dari agama sebenarnya?

Kuncinya terletak di ritual agama, yang dilakukan dengan perhatian yang seksama pada detil. Kata atau gerakan yang salah dianggap tidak senonoh, itu adalah cara menghancurkan mantra dan mengubah ritual dari sesuatu yang suci menjadi sesuatu yang biasa.

Penting bahwa ritual atau mantra ini dilakukan dengan tepat karena hal-hal itu dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan ilahi.

Di Hari Sabbath, orang Yahudi keluar dari kejadian harian dan biasa dan menyiapkan pikiran yang hormat.

Mereka melakukan hal-hal yang tanpa tujuan dan tidak membutuhkan penjelasan. Di sana, kepercayaan dan ritual bersatu memungkinkan pengalaman kehadiran Tuhan yang sama dan pemenuhan mendalam akan kebutuhan manusia bersama.

Itulah kenapa, menurut Roger Scruton, pencarian Tuhan dilakukan oleh manusia. Terlepas dari ilmu pengetahuan, yang dianggap sebagai puncak tertinggi pembuktian dan pikiran, tidak bisa membuktikan keberadaan-Nya.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments