Ekonomi Narasi: Cerita Viral yang Menggerakkan Ekonomi

By Nayanika Eleanor - Oktober 20, 2022

Apakah Anda pernah bertanya-tanya mengapa pasar uang dan ekonomi kadang menunjukkan perilaku yang aneh? Banyak ahli ekonomi yang akan menjawab bahwa hal itu disebabkan oleh angka dan statistik. Maka, satu-satunya cara untuk memahami ekonomi adalah dengan memahami statistik itu.

Namun, orang-orang yang menjalankan perekonomian - konsumen, pebisnis, politisi - lebih susah dipahami daripada angka yang ditunjukkan oleh rangkaian statistik. Mereka memiliki hasrat, bias, dan sistem berbeda yang mereka percayai. Sederhananya: mereka memiliki cerita sendiri - cerita yang mengubah cara mereka berperilaku, yang berdampak pada cara uang berperilaku.

Ketika cerita ini dikenal luas, hal itu sangat berdampak pada hasil ekonomi - entah dengan menyebabkan kepanikan ketika terjadi penurunan harga saham atau mendorong investor baru untuk membeli Bitcoin. Namun, cerita-cerita itu biasanya tidak masuk dalam analisis ekonomi.

Ekonomi narasi dalam Blinkist kali ini adalah cara baru memasukkan kumpulan cerita itu dalam keputusan ekonomi.

Kumpulan cerita yang mengubah perilaku ekonomi

Ketika melihat seorang ahli ekonomi di TV, Anda akan mendapati hampir setiap kali mereka membicarakan angka. Anda akan sering mendengar istilah, seperti "GDP" atau "inflasi" yang menggambarkan jatuhnya pasar saham atau resesi yang mengancam.

Dalam dunia ekonomi, sering kali ekonomi tampak hidup sendiri di tempat yang hanya terdapat angka. Para ahli ekonomi jarang menjelaskan ekonomi dengan menyebutkan ketakutan, harapan, atau prasangka orang-orang. Mereka sering melupakan cerita masyarakat yang sebenarnya penting dalam memahami peristiwa ekonomi yang besar. Di sinilah narasi ekonomi masuk.

Pertama, untuk memahami frasa "ekonomi narasi", kita perlu mempertimbangkan penggunakan moderen dari kata narasi.

Daripada menjelaskannya sebagai hal dengan awalan, tengah, dan akhir, narasi dapat menggambarkan rangkaian cerita atau kepercayaan yang dimiliki sekelompok orang. Contohlah "pebisnis cerdas", narasi populer di Amerika Serikat. Bahkan, Donald Trump menggaungkan hal itu untuk menarik banyak suara. Apakah Trump adalah pebisnis cerdas tidak menjadi masalah -  ia sukses memasukkan dirinya ke dalam narasi tersebut dan memainkan karakternya sebagai pelaku bisnis andal yang berbakti pada negara.

Tentunya, narasi semacam itu membuahkan hasil. Donald Trump terpilih menjadi presiden.

Sekarang, contohlah turunnya pasar saham pada 1929. Beberapa tahun sebelum kejatuhan itu terjadi, ada banyak narasi berseliweran. Ada cerita mengenai orang yang mempertaruhkan semua tabungannya di saham tertentu dan menjadi kaya raya. Tentunya, hal ini membuat semakin banyak orang yang mengambil keputusan investasi buruk yang berujung pada jatuhnya pasar saham pada 25 Oktober 1929.

Narasi seharusnya membentuk sebagian pemahaman kita akan peristiwa ekonomi besar, tetapi sering kali tidak. Ketika ahli ekonomi jarang berfokus pada cerita, ada satu pengecualian ahli ekonomi Cambridge John Maynard Keynes. Daripada menghubungkan ekonomi dengan angka, John mengikutsertakan perasaan masyarakat.

Dalam bukunya "Economic Consequences of the Peace" atau Konsekuensi Ekonomi dalam Perdamaian, ia memprediksi bahwa Jerman akan merasakan kepahitan dari perbaikan besar-besaran atas apa yang terjadi setelah Perang Dunia I.

Bangkitnya Bitcoin Sebagai Kekuatan Narasi

Di akhir 2008, seseorang bernama Satoshi Nakamoti mengunggah tautan ke sebuah makalah yang ia tulis berjudul "Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System" atau Bitcoin: Sistem Uang Elektronik Antarpengguna. Sejak saat itu, muncul kegemparan akibat inovasi misterius ini. Meskipun identitas Satoshi sebenarnya belum terungkap, temuannya - Bitcoin mata uang kripto - sudah menjadi sebuah fenomena.

Ada teori matematika rumit dan luar biasa di balik Bitcoin. Namun, bukan pencapaian teknisnya yang mendukung keterkenalan mata uang kripto ini, melainkan misteri dan kegemparanlah yang membuat orang tertarik padanya.

Jika ingin mendekati para investor Bitcoin dan menanyakan tentang teknologi di balik mata uang kripto, seperti "Merkle tree" atau "Elliptical Curve Digital Signature", kemungkinan besar Anda tidak akan mendapatkan jawaban.

Yang membuat para investor Bitcoin gempar adalah narasi yang mengiringinya. Itu adalah janji akan cara baru melakukan sesuatu - jauh dari mata uang lama, yang menunjukkan raja, ratu, dan presiden-presiden mereka yang sudah mati.

Singkatnya, itu adalah janji-janji masa depan. Para investor itu percaya bahwa jika mereka berinvestasi pada Bitcoin, mereka akan memiliki pijakan di kehidupan masa depan itu, yang menjanjikan hal-hal futuristik yang menyilaukan. Hanya dengan membeli mata uang kripto, mereka merasa tergolong sebagai orang-orang yang tercerahkan dan cerdas secara teknologi, dan tidak tertinggal dari orang lain.

Bayangan populer lain yang tertanam pada Bitcoin adalah ide tentang adanya mata uang yang berada di luar kendali bank-bank besar dan pemerintah. Hal ini menarik bagi sisi anarki para investor yang berpikir bahwa kedua lembaga itu sudah bobrok dan tidak efisien. Dan mengingat mata uang tersebut tidak hanya menjadi milik satu negara saja, Bitcoin sangat menarik bagi orang-orang yang menganut paham internasionalisme. Penganut Bitcoin berpendapat bahwa mereka adalah masyarakat cerdas yang berorientasi pada masa depan.

Dari penemu matematika rumit misterius ke ide dunia baru masa depan yang terwujud dalam sebuah mata uang, Bitcoin adalah cerita menarik. Dan tanpa cerita ini, mata uang kripto tidak akan seberhasil ini hingga menarik jutaan investor. Itu adalah gambaran sempurna akan kekuatan narasi dalam keuangan.

Pendidikan Epidemi dan Ekonomi Narasi

Pikirkan semua jurusan yang ada di sebuah universitas: antropologi, sastra, fisika, matematika, ekonomi, dan sebagainya. Semuanya menjurus pada ilmu khusus, semuanya memiliki pikiran luar biasa di bidangnya masing-masing.

Namun, kekhususan ini dapat menjadi hambatan - fokus yang sempit. Padahal, dengan bekerja sama, jurusan berbeda ini dapat saling memperkaya. Dan satu hal yang dapat dipelajari ahli ekonomi adalah epidemiologi - pendidikan epidemi.

Dengan mempelajari cara penularan penyakit, kita mendapatkan informasi terkait narasi "epidemi". Ambillah penyakit menular, seperti Ebola. Ada angka penularan, angka kesembuhan, dan angka kematian. Ketika epidemi itu melanda, angka penularan - yang menghitung semua orang yang baru terinfeksi - mengalahkan angka kesembuhan dan kematian. Dan ketika epidemi menurun, proses ini terbalik sehingga angka kesembuhan atau kematian mengalahkan angka penularan baru.

Pola ini juga dapat digunakan ke narasi ekonomi penularan. Penularan terjadi dari satu orang ke orang lain melalui percakapan, entah melalui kontak langsung, media sosial, atau teknologi komunikasi lain. Juga dapat menyebar melalui ruang bicara dan seluruh ekosistem media.

Awalnya, kejadiannya meningkat tajam. Lalu, mirip epidemi penyakit, ada proses penurunan kecepatan. Bukannya menunjukkan angka kesembuhan atau kematian, melainkan orang-orang mulai tidak tertarik atau lupa. Ketika jumlah orang-orang ini mengalahkan orang yang "tertular" - orang yang menyebarkan narasi - cerita epidemi cepat menghilang.

Sekali lagi, Bitcoin adalah contoh terbaik yang mampu menjelaskan hubungan antara narasi epidemi menyakit dan ekonomi menular. 

Jika melihat seberapa sering kata "Bitcoin" digunakan di berita dan koran di seluruh dunia pada sepuluh tahun terakhir, Anda akan melihat peningkatan tajam sekitar 2013, lalu terjadi peningkatan tajam dan memuncak pada 2018, sebelum akhirnya jatuh lagi. Meskipun kita belum melihat akhir dari cerita Bitcoin, diagam itu menunjukkan peningkatan dan penurunan yang terlihat sangat mirip dengan diagram epidemi penyakit, bahkan sama dengan "gelombang" kedua yang terjadi setelah lonjakan awal.

Jadi, epidemi penyakit dan epidemi narasi memiliki bentuk serupa. Apa fungsinya mengetahui ini? Dengan mempelajari pola epidemi, kita dapat memahami cerita tertentu dan menyesuaikan respons kita di bidang ekonomi dan politik.

Narasi sering kali berhubungan dengan narasi lain

Terkadang, cerita hanya mendapatkan momentum ketika terhubung dengan cerita lain yang berkaitan.

Contohnya, katakanlah tetangga sebelah adalah orang ansos yang memasang duri di pagar kebunnya untuk mengusir kucing. Jika kucing di sekitar rumah mendadak menghilang, narasi bahwa tetangga itu membenci kucing menjad begitu menarik.

Anda mungkin mulai mengamati hal-hal kecil terkait tetangga itu yang membuat Anda terjebak dalam kesan bahwa mereka adalah orang yang benar-benar menderita - terlepas apa yang terjadi pada kucing itu. Hal ini karena narasi jarang terjadi sendiri: sering kali narasi adalah bagian dari jaringan cerita lain yang saling berkaitan.

Ambillah contoh dari kurva Laffer, teori yang berhubungan dengan ahli ekonomi Arthur Laffer. Itu adalah diagram yang menunjukkan U terbalik, menunjukkan bahwa penarikan pajak yang lebih rendah menghasilkan pendapatan pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan penarikan pajak yang lebih tinggi.

Namun, ketika hal itu pertama kali dikemukakan, ide ini tidak mendapatkan momentum. Ide ini harus menunggu peristiwa besar yang terjadi di sebuah restoran pada 1974 agar terdengar. Di suatu acara makan malam, Arthur Laffer dikabarkan menggambarkan diagram terkenal itu di sebuah lap dan menunjukkannya pada politisi Republican Donald Rumsfeld dan Dick Cheney. Cerita tentang seorang ahli ekonomi yang sangat ingin membagikan idenya pun melekat di benak masyarakat.

Lalu, logika pemotongan pajak dari kurva Laffer menjadikan banyak orang berpikir bahwa pemerintah dan birokrasinya tidak efisien dalam bekerja. Ketidakpercayaan pada pemerintah pada saat itu diusung oleh politisi konservatif seperti Ronal Reagan dan Margaret Thatcher yang mengambil kesempatan yang diberikan Laffer.

Kurva Laffer juga terkenal bersamaan dengan naiknya popularitas buku karangan Ayn Rand. Novel "Atlas Shrugged" terkenalnya mengisahkan sekelompok pemimpin bisnis dan orang-orang produktif lain yang menghilang dalam protes pada pemerintah - pemerintah yang mereka percaya menghalangi inovasi dengan pajak dan aturan-aturan yang memberatkan.

Sehubungan dengan politik dan novel itu, kurva Laffer menjelaskannya dengan sempurna. Tiap-tiap narasi itu saling memberikan porsi dan konteks, mendukung pendapat bahwa keikutcampuran pemerintah dan pajak adalah sesuatu yang negatif.

Semua ini berarti bahwa ketika kita memahami satu narasi populer, kita harus selalu berhati-hati untuk tidak melupakan hubungan dari ide terkait di sekelilingnya. Jika tidak, kita hanya akan melihat satu hal kecil dari hal besar yang sebenarnya terjadi.

Narasi ekonomi sering kali bergantung pada detail besar tertentu

Tidak bisa dihindari - kita suka membuat narasi kapan pun kita bisa. Seperti yang ditulis filsuf Jean-Paul Sartre, "manusia itu adalah pencerita ... ia melihat segala yang terjadi padanya dari cerita-cerita itu." Dengan kata lain, pikiran kita membentuk segalanya menjadi narasi. Namun, untuk membuat narasi, kita perlu menghubungkannya ke hal-hal tertentu terkait manusia.

Contohlah percobaan terkontrol yang dilakukan pada 1985 yang dilakukan oleh psikolog kognitif Brad E. Bell dan Elizabeth F. Loftus. Peserta mengambil peran sebagai anggota juri. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah suatu detail jelas berhubungan dengan cara kasus di pengadilan diputuskan. Jadi, kasus fiksi dihadirkan dengan dan tanpa detail jelas.

Di salah satu kasus tersebut, tersangka dinyatakan tidak sengaja "menendang semangkuk guacamole ke karpet kasar putih" ketika melakukan kejahatan. Detail itu, meskipun tampak tidak berhubungan, membantu juri dalam percobaan itu membuat keputusan hukum. Gambaran ini membantu mereka membentuk gambaran "narasi" keseluruhan kejahatan secara jelas, yang tanpanya narasi itu tidak akan mudah dimengerti.

Di dunia ekonomi, detail tertentu dapat membantu membangun narasi yang berdampak besar. Ingat kembali pada serangan teroris 9/11. Saat itu, ekonomi AS berada di tengah resesi. Dan ketika Pusat Perdagangan Dunia itu dihancurkan dan Pentagon rusak parah, banyak ahli ekonomi takut bahwa hal ini akan semakin menggerus kepercayaan pada ekonomi di negara itu. Tampak sangat yakin: semua petunjuk mengarah pada penderitaan yang lebih parah. Namun, pada November, secara mengejutkan, resesi itu selesai.

Apa yang terjadi? Tampaknya orang Amerika, setelah melihat gambar serangan pada bangunan simbolis itu dengan jelas, telah memahami resesi yang tak terelakkan itu dan memutarbaliknya. Satu kejadian penting adalah ketika Presiden George W. Bush menyampaikan hal tersebut. Ia mendorong orang-orang untuk melupakan ketakutannya: "Jalankan bisnis dalam negara. Bepergian dan nikmatilah destinasi-destinasi wisata terbaik Amerika. Kunjungilah Disney World di Florida."

Alih-alih menerima resesi yang berlanjut, orang-orang Amerika membangun narasinya dengan detail jelas itu. Bisnis-bisnis AS dan keseluruhan ekonomi menyesuaikan diri. Serangan dramatis dan pidato menggugah George W. Bush itu telah menggugah mereka untuk melawan kemerosotan ekonomi yang takterelakkan.

Narasi Ekonomi yang Berulang

Narasi ekonomi yang umum adalah panik vs percaya diri. Anda sering mendengar jurnalis, politisi, dan ahli ekonomi berbicara soal percaya diri - percaya diri di bidang bisnis, bank, dan ekonomi yang lebih luas. Agar perekonomian dapat bertahan, kepercayaan diri masyarakat itu penting.

Seperti yang dinyatakan oleh penulis Christopher Booker bahwa cerita mengikuti salah satu dari tujuh alur dasar - seperti "miskin menjadi kaya" atau "mengalahkan monster" - tampaknya ada narasi ekonomi yang muncul berulang kali.

Jadi, mari kembali ke narasi panik vs percaya diri. Dari mana cerita ini berasal? Di Amerika Serikat, tampaknya pernah ada kepanikan keuangan pada 1857, ketika menuju Perang Sipil AS, ketika ide ini populer. Lalu, penggunaan kata panik untuk menggambarkan krisis keuangan yang memuncak setelah Kepanikan 1907, yang melibatkan bankir selebritis J.P. Morgan yang menggunakan uangnya untuk membantu menjamin sebuah bank.

Sisi lain dari kepanikan bersama adalah kepercayaan diri bersama. Pentingnya kepercayaan diri sebagai narasi membangun bisa dilihat dari pernyataan Presiden Calvin Coolidge. Untuk mendukung kepercayaan masyarakat pada pasar saham pada 1920-an, Calvin memberikan pernyataan agar masyarakat optimis terhadap status ekonomi meski pada saat itu ekonomi sedang tidak dalam keadaan baik.

Sejak saat itu, narasi panik vs percayaa diri telah menjadi bagian dari cerita ekonomi. Pikirkan kembali krisis ekonomi 2008 - Anda bisa berpendapat bahwa ingatan sejarah akan kepanikan sebelumnya adalah faktor utamanya.

Narasi yang terkait dengan ini adalah kejatuhan pasar saham. Itu adalah peristiwa kejatuhan yang terjadi pada 1929 yang memberi kita gambaran tentang sebuah kejatuhan. Sebelum itu, frasa tersebut hanya digunakan sehubungan dengan peristiwa jatuh. Namun, dampak besar dari krisis 1929 menggunakan kata itu untuk menggambarkan pasar saham yang jatuh terjerembab.

Narasi kejatuhan pasar saham kembali muncul pada 2007-2009 selama Resesi Besar. Seperti pada 1920-an, bayangan bahwa kejatuhan itu adalah hukuman pasti dari keputusan saham yang buruk telah kembali.

Narasi-narasi ini, yang berakar dari kejadian jauh sebelumnya, membentuk peristiwa saat ini. Jika kita ingin memahami hal yang terjadi sekarang dengan lebih baik, kita perlu menyadari bahwa yang kita alami sekarang sering kali adalah mutasi dari cerita-cerita induk ini.

Dampak Ekonomi Suatu Narasi Dapat Berubah

Kita semua memiliki ingatan yang sedikit berubah seiring berjalannya waktu. Pesta ulang tahun. Perjalanan di suatu musim panas. Ingatan-ingatan ini dapat muncul kembali dalam kehidupan kita dengan sedikit berbeda dan membuat kita menghargainya dengan cara yang berbeda. Jadi, saat menakutkan ketika pergelangan tangan terkilir saat bermain bowling bisa menjadi malam yang indah.

Sebagaimana kehidupan, begitu juga ekonomi. Kumpulan narasi yang terjadi seputar peristiwa ekonomi berubah seiring berjalannya waktu, mengubah pemahaman kita seutuhnya tentangnya.

Ingatan pada 19 Oktober 1987 saat kejatuhan pasar saham masih membayang. Itu adalah kejatuhan saham sehari terbesar dalam sejarah. Mengingatnya cukup dapat melemahkan kepercayaan diri investor terbesar saat ini karena yang terjadi sebelumnya bisa selalu terjadi lagi. Para wartawan masih menuliskan artikel panjang dan memikirkan hal-hal terkecil tentangnya, terutama saat peringatannya.

Namun, kejadian sebenarnya dan ingatan akan kejadian itu berbeda. Karena pada saat itu, ada perbincangan besar tentang program perdagangan terkomputerisasi yang disebut asuransi portofolio. Program ini menggunakan algoritma untuk membatasi kerugian investor dari pasar baru.

Narasi yang mengitarinya menyebabkan banyak orang menjual sahamnya saat itu yang memperparah kejatuhan. Mengingat kejadian ini, kejatuhan 1987 tidak terlalu terkait dengan kondisi pasar saat ini. Namun, masih banyak orang melupakannya dan dengan menakut-nakuti investor, 1987 masih mampu memengaruhi kita.

Begitu juga ingatakan PD I bermutasi menjadi hal berbeda di awal PD II dan menyebabkan orang bertindak berbeda. Di awal PD I, investor meresponsnya dengan kepanikan dan tindakan tidak rasional. Contohnya, investor Eropa mengirimkan banyak emas keluar Amerika Serikat, meskipun Amerika Serika masih belum ikut bagian perang, dan pasar saham mulai terjun.

Namun, begitu PD II mulai pada 3 September 1939, indeks pasar saham S&P meningkat sebesar 9,6 persen. Kenapa? Saat ini, narasi yang sangat berbeda tentang PD I sudah populer. Banyak orang percaya bahwa orang yang tidak menyimpan investasinya selama perang menjadi kaya. Jadi, antara 1918 dan 1939, narasi yang benar-benar berubah terkait PD I membuat orang-orang bertindak sangat berbeda.

Penelitian narasi membantu kita mempersiapkan diri akan peristiwa ekonomi

Seperti yang sudah dipelajari, narasi itu penting ketika berbicara tentang ekonomi. Untuk memprediksi kejatuhan, masa kelam, dan anomali, ahli ekonomi perlu mempertimbangkannya secara serius. Menggunakan statistik tidaklah cukup.

Jadi, para ahli ekonomi dan penelitian harus menggunakan alat yang tersedia sekarang untuk memahami narasi dengan lebih baik. Kita dapat mengangses banyak data dan melihat apa yang ada dalam pikiran orang-orang di seluruh dunia. Kita dapat menjaringnya dari pencarian internet, melihat apa yang orang-orang bicarakan di media sosial, dan belajar dari komunitas-komunitas dan jenis penelitian pasar lainnya.

Sebelumnya, pendapat, perasaan, dan pilihan pribadi tidak pernah dicatat. Teknologi membuat kita mencari buku dan koran menggunakan kata kunci dan frasa hanya dengan memencet tombol.

Dengan menggunakan alat yang dapat menemukan pola di samudera data ini, ahli ekonomi harus mampu mengidentifikasi narasi besar yang mungkin akan berdampak besar pada ekonomi.

Namun, ketelitian sangat diperlukan ketika menggunakan narasi untuk berteori soal peristiwa ekonomi. Jika tidak, proses ini hanya akan berbuah spekulasi tidak matang dan tidak ilmiah. Untu melakukannya, mereka dapat mempelajarinya dari disiplin ilmu lain yang secara spesifik mempelajari narasi, seperti humaniora. Narasi juga dapat dianalisis dengan mempelajari perkembangan neurosains, psikologi, dan kecerdasarn buatan.

Jadi, apa yang dapat dilakukan dengan informasi baru ini? Dengan memahami narasi lebih baik, pembuat kebijakan dapat membentuk perilaku masyarakat di masa tekanan besar. President Roosevelt memahaminya, bahkan pada 1903. Saat Depresi Besar, Roosevelt tahu bahwa kurangnya kepercayaan diri bersama adalah faktor penting bagi ekonomi.

Untuk mengatasinya, ia meminta rakyatnya untuk mengesampingkan rasa takutnya dan tetap membelanjakan uangnya. Dengan begitu, ia mengendalikan narasi, dan tampaknya berhasil. Tiap kali ia menyambut rakyat, pasar seimbang.

Jika pembuat kebijakan mampu membaca kumpulan narasi yang mengitari peristiwa ekonomi yang akan datang atau sudah terjadi, mereka dapat menjalankan awalan yang baik. Dan dari titik menguntungkan itu, mereka dapat menjadi peserta aktif dalam peristiwa ekonomi, bukan hanya sebagai pengamat yang menyedihkan.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments