Dilema yang Bisa Dialami Seorang Inovator

By Nayanika Eleanor - Juli 25, 2022

Siklus bisnis berputar cepat. Sangat cepat hingga teori bisnis sering kali ketinggalan. Namun, sering kali ide yang bertahan lama juga muncul. Ide yang tidak akan mati. Konsep "inovasi disruptif" adalah salah satunya.

Revolusi bisa mengakibatkan kekacauan: kalau ingin menciptakan sesuatu yang sepenuhnya baru, kamu harus menghancurkan sesuatu. Dulu, pada 1940, penulis kelahiran Austria Joseph Schumpeter memunculkan istilah "destruksi kreatif." Menurutnya, destruksi bisa menjadi hal baik karena membantu meningkatkan dan merestrukturisasi ekonomi.

Setengah abad kemudian, Clayton Christensen memperbarui ide tersebut. Sulit melebih-lebihkan citra yang dibuat bukunya Dilema Inovator ketika pertama kali dirilis pada 1997. Steve Jobs mengaku bahwa pikirannya sangat terpengaruh oleh buku itu. Andy Gove, CEO Intel, mengatakan bahwa itu adalah buku terpenting dalam sepuluh tahun terakhir. Buku itu telah berhasil terjual sebanyak setengah juta eksemplar dalam waktu setahun.

Kenapa buku itu mendapatkan apresiasi tinggi? Itu karena buku tersebut memprediksi bagaimana sebagian besar perekonomian akan berjalan di seribu tahun mendatang - jauh sebelum aplikasi dan e-commerce menjamur. 

Dan Clayton benar. Sekarang, tampak bahwa inovasi memiliki sisi destruktif: Uber mengganggu sistem taksi konvensional; Amazon mengganggu bisnis pertokoan offline; dan banyak perusahaan lain yang mencoba melakukan hal sama di industri mereka.

Kita pelajari semuanya dalam Blinkist kali ini.

Siapa yang butuh radio murahan?

Kita sedang berada di Amerika Serikat di awal 1950-an. Perang sudah usai. Masyarakat kembali mendapatkan harapan. Ekonomi berkembang. Semakin banyak rumah tangga yang mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar dan mereka membelanjakannya. 

Itu berita baik bagi banyak industri, dari pembuat mobil hingga pabrik kulkas. Berita ini juga terdengar baik bagi perusahaan elektronik. Salah satu barang dengan penjualan terbaik mereka adalah konsol musik tabung - lemari dengan radio terintegrasi yang berdiri di tengah ruangan tamu kelas menengah di seluruh dunia.

Konsol itu adalah barang kukuh yang dibuat dengan baik. Selain itu, barang tersebut dirancang dengan sangat baik dan terdengar merdu. Segala hal yang membuatnya mahal ada padanya, tapi itu bukan masalah. Saat itu adalah masa-masa kemakmuran dan orang-orang dapat mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu yang penting bagi mereka: kualitas. Itulah yang menjadi fokus perusahaan radio itu. Mereka membuat, memperbaiki, dan terus melakukan membuat konsol besar dan mahal yang merdu.

Itulah saat ketika firma Jepang kecil bernama Sony memasuki industri. Didirikan pada 1946 dengan modal awal sekitar USD6.000, pegawai Sony kurang dari 20 orang. Namun, ketua Sony, Akio Morita, memiliki ide.

Ia memutuskan untuk tinggal di hotel murah di New York dan mulai menegosiasikan izin untuk mematenkan teknologi transitor yang dimiliki oleh perusahaan telekomunikasi Amerika AT&T. Akio mendapatkan lisensinya, tetapi para eksekutir AT&T bingung dengan idenya untuk menggunakan teknologinya guna membuat radio kecil. Kenapa ada orang yang mau membeli radio kecil, tanya mereka. Jawabannya singkat, "Kita lihat saja."

Radio transitor portabel Sony muncul di pasar pada 1955-an. Radionya jelek. Statiknya sangat keras sampai tidak bisa mendengar musiknya, dan fidelitinya jauh lebih rendah daripada konsol tabung biasanya. Jika kamu tinggal di sebuah rumah yang menghargai kualitas suara yang bagus, tidak mungkin kamu mau membeli radio Sony! Tapi, bagaimana kalau kamu tidak memiliki uang yang bisa dibuat foya-foya? Bagaimana jika, dengan kata lain, kamu adalah seorang remaja Amerika biasa? Pilihan lain dari radio transitor buruk bagi remaja tahun 50-an adalah tidak membeli radio, jadi mereka mulai membeli banyak radio Sony! 

Kamu mungkin bisa menebak arah pembicaraan ini. Radio buruk Sony membuka jalan bagi perusahaan itu di pasar Amerika. Dan, lambat tapi pasti, teknologi transitor berkembang. Seiring waktu, suaranya sangat merdu hingga menarik bagi segmen pasar yang lebih makmur. Orangtua para remaja itu bahkan berkatra bahwa terlalu terlambat bagi perusahaan radio lain untuk menyaingi Sony.

Kenyamanan mengalahkan kualitas

Ahli bisnis memiliki penjelasan tentang kenapa perusahaan ternama harus kalah dari perusahaan baru seperti Sony. Jawaban mereka sebagai berikut.

Perubahan teknologi sangatlah cepat hingga kamu harus berlari untuk mengejarnya. Namun, sering kali para manajer tidak dapat melihat fakta ini. Mereka terlalu foksu pada hal yang disukai orang-orang masa kini hingga tidak mempersiapkan masa depan. Begitulah mereka dikalahkan. Sebutlah kekalahan mereka disebabkan oleh kurangnya inovasi atau manajemen yang buruk.

Bagi Clayton, itu bukanlah nilai moral dari cerita Sony atau cerita serupa lainnya. Ketika ia melihat industri bergengsi dikalahkan oleh pendatang baru, ia sadar bahwa terobosan teknologi jarang sekali merupakan pekerjaan perusahaan baru yang berani. Perusahaan itu biasanya dibangun di departemen R&D perusahaan besar.

Seperti yang kita lihat, Sony mendomplang popularitasnya dari teknologi canggih pemain lama: AT&T. Lalu, muncul Kodak memimpin pasar film fotografi selama abad kedua puluh sebelum ditelan oleh pendatang digital. Namun, kamera digital pertama dibuat oleh pegawai Kodek di akhir tahun 70-an!

Jadi, pertanyaan sesungguhnya bukanlah kenapa perusahaan besar tidak dapat berinovasi, melainkan kenapa mereka tidak memanfaatkan teknologi terobosan yang sering kali sedang dikembangkan di perusahaan mereka.

Jawaban Clayton adalah teknologi terobosan sering kali lebih buruk dari yang sudah ada. Radio portabel Sony terdengar buruk. Kamera telepon seluler menghasilkan gambar yang buruk. Mobil pertama yang dijual Toyota di pasar Amerika, Corona, tidak dapat betahan dari jajaran produksi GM dan Ford.

Clayton melihat inovasi berkualitas buruk ini sebagai gangguan dasar. Ia membandingkannya dengan "inovasi berkelanjutan" - perancangan terus-menerus yang menghasilkan performa yang lebih tinggi. 

Kembali ke radio, perusahaan seperti RCA dan Zenith terus berinovasi pada produk utamanya, yang terdengar semakin lebih merdu seiring berjalannya waktu. Sony mengganggu pola itu. Akio Morita tidak sibuk di laboratoriumnya hingga radio transitornya dapat menandingi radio yang dibuat oleh perusahaan besar di industri itu. Namun, ia bertaruh dengan menemukan pasar baru yang menyukai portabilitas dan harga rendah dibandingkan kualitas.

Selain produk terobosan, pasarnya perlu baru. Pelanggan pemain lama tidak tertarik pada terobosan: mereka sudah memiliki sesuatu yang terbukti berhasil. Dan dari sudut pandang manajer, sangat rasional untuk  mengabaikan produk baru tidak jelas yang belum memiliki pasar dan memfokuskan sumber daya perusahaan untuk meningkatkan produk bermargin tinggi yang ditunggu-tunggu pelanggan.

Meski begitu, pasar baru itu sering kali menjadi tempat yang sangat menguntungkan. Para remaja mau membeli radio jelek jika murah dan portabel. Orang-orang bahkan rela membeli ponsel berkat kameranya walaupun hasil gambarnya kasar. Corona milik Toyota terlihat seperti ember usang, tapi Toyota mobil-mobil itu dapat mengantar orang-orang bekerja dengan harga yang lebih murah dibandingkan produksi GM atau Ford. Semua produk itu sangatlah berguna.

Hal ini membawa kita pada dilema seperti yang tercantum pada judul buku. Kamu tidak boleh berinvestasi pada setiap ide baru yang terdengar bodoh - itu adalah cara membangkrutkan sebuah perusahaan.

Namun, katakanlah kamu terus mengejar margin tinggi itu sambil menunggu untuk mengetahui apakah ide bodoh itu berubah menjadi hal menakjubkan. Saat mendapati hal itu, semuanya sudah terlambat: pasar baru yang tiba-tiba cukup menarik dimasuki sudah terpusat. Yang lebih buruk, produk tidak jelas dan murah keluaran perusahaan baru memiliki kemungkinan memperbaiki produknya hingga dapat menarik perhatian pelangganmu. Itu juga cara menuju kebangkrutan.

Kenapa Gillette berada di ujung dilema

Inovasi berkelanjutan memperbaiki produk yang sudah ada. Ambillah Gillette sebagai contoh - perusahaan yang dengan bangga menyatakan di website-nya bahwa mereka hanya akan berhenti membuat pisau cukup ketika mereka tidak lagi dapat membuatnya lebih baik.

Pisau cukup Gillette pertama adalah seperangkat alat biasa: sepasang pisau cukur dengan mata pisau ganda yang terpasang di gagang. Sebaliknya, pisau cukup bertenaga baterai, memiliki mata lima mata pisau antigesek, strip pemulas, dan pemotong presisi untuk cambang. 

Apakah pisau cukur Cillette terbaru lebih baik daripada yang lama? Tentu. Apakah pisau cukur itu terlalu berlebihan? Dollar Shave Club, pendatang baru di pasar pisau cukup, berpikir begitu. Banyak orang tidak ingin menghabiskan sedikit uang untuk pisau cukur yang rumit, katanya. Mereka ingin pisau cukur yang sederhana, murah, dan fungsional. Tawarkan pisau cukup itu langsung ke rumah setiap orang dan kamu telah membuat pasar baru di mana kenyamanan mengalahkan kualitas. Itulah inovasi disruptif.

Sayangnya, bagi pemain lama seperti Gillette, pendatang baru bergerak ke hulu menuju pasar besar. Itulah yang dilakukan oleh perusahaan yang menawarkan pengiriman pisau cukur ke rumah sekarang. Merek Amerika Harry's, contohnya, sekarang menjual produknya secara online dan di department store, ladang bisnis lama milik Gillette.

Dengan kata lain, Gillette, terjebak di ujung dilema - dilema inovator.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments