Standar Kecantikan Adalah the Worst Human Invention

By Nayanika Eleanor - November 10, 2022

Sebenarnya minggu ini ingin membahas tren siklus perawatan kulit, tetapi tidak jadi karena ada yang lebih penting, yaitu: standar kecantikan.

Kita tahu bahwa standar kecantikan wanita dunia sudah berkiblat ke arah Korea Selatan. Negara asia produsen boyband dan girlband itu sering kali dijadikan rujukan tentang bagaimana penampilan seseorang seharusnya.

Sebelumnya, Amerika masih memegang kendali itu dengan lemak yang diinjeksikan di beberapa bagian tertentu. Sekarang, dengan berpindahnya kiblat, semua orang menjadi ingin tampak kurus, langsing, berkaki jenjang, dan jari-jemari panjang.

Intinya, semua standar kecantikan itu membuat semua orang memaksakan diri untuk tampil dengan satu tampilan sama. Jika tidak, mereka akan merasa kurang sebagai manusia. Parahnya, masyarakat yang meyakini hal itu tidak segan melakukan perbandingan dan perundungan.

Orang-orang yang tidak dilahirkan dengan standar tersebut pun merasa mereka harus melakukan perubahan. Akhirnya, jalan yang mereka ambil untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi masyarakat adalah operasi plastik.

Apakah setelah melakukan operasi plastik masalah mereka berhenti? Tidak. Beberapa di antaranya malah menimbulkan masalah baru, seperti, yang paling sering terjadi adalah, malpraktik, adiksi, dan kegagalan.

Kejamnya Standar Manusia


Beberapa jam lalu, saya menonton beberapa video dalam playlist "Deadly Beauty" di kanal Youtube Vice Asia. Hingga saya menulis, masih ada empat video yang diunggah di sana.

Saya hanya menonton 3 video yang didokumentasikan di India, Thailand, dan Jepang. Ketiganya membawa cerita berbeda tentang sebuah standar kecantikan yang dibuat oleh manusia.

Mari kita bahas satu persatu.

India

Seorang lelaki akan menjalani sebuah operasi pemanjangan kaki. Ia adalah seorang insinyur dengan berbagai pencapaian luar biasa di bidangnya dan mampu berbicara dalam 9 bahasa. Namun, dengan tingginya yang dikatakan di bawah rata-rata, ia tidak mendapatkan penerimaan di masyarakat. Bahkan, istrinya pun mendukungnya untuk melakukan operasi berbahaya itu.

Dari pengalaman yang saya lihat, operasi itu cukup berisiko. Yang lebih menyakitkan adalah, Beliau mengatakan bahwa rasa sakitnya tidaklah seberapa dibandingkan rasa sakit mendengar ocehan orang-orang di sekitarnya.

Pantaskah seseorang yang memiliki otak encer seperti Beliau menerima perlakuan seperti itu? Apa pentingnya hidup dengan standar kecantikan tetapi tidak punya otak? Apakah ia mampu memberikan suatu kemajuan pada negaranya?

Thailand

Thailand dengan berbagai sebutan untuk mengidentifikasi gendernya memang sudah terkenal dengan operasi plastiknya. Di Indonesia, Thailand bisa dibilang menjadi alternatif operasi plastik murah. Bahkan, Thailand sudah menjadikan operasi plastik sebagai daya tarik wisatanya.

Kesempatan itu nampaknya digunakan sebaik mungkin oleh oknum-oknum nakal. Mereka membuka klinik operasi tanpa disertai sertifikat medis. Beberapa orang ada juga yang berani memproduksi botox sendiri. Hasilnya? Bisa dibayangkan.

Di sini, industri hiburan Korea Selatan kembali dijadikan rujukan. Demi mendapatkan penampilan impian bak member girlband, seseorang harus menderita kerusakan wajah yang sangat parah dengan iming-iming harga murah.

Beberapa operasi perbaikan memang sudah dilakukan, tetapi tentunya tidak dapat mengembalikan penampilan seperti dulu.

Jepang

Jepang ternyata mulai membuka diri soal operasi plastik. Dalam video yang dapat dilihat di kanal Youtube itu, ada seorang ibu yang mendaftarkan anaknya yang masih duduk di bangku SD untuk mendapatkan operasi lipatan mata.

Ketika ditanya, ibunya mengatakan bahwa ia sangat iri pada saudaranya yang selalu mendapatkan permen di masa kecil karena adanya lipatan di kelopak matanya. Ia pun menjadikan itu sebagai dasar bahwa anaknya perlu mendapatkan operasi sedini mungkin.

Entah bagaimana Anda menyikapinya, tetapi setelah menonton video itu, saya cukup murka dan langsung memutuskan untuk menulis ini.

Standar Manusia dan Sikap

Setelah menonton video itu, saya berpikir apa yang salah dengan manusia? Ada apa dengan dunia? Haruskah semua orang memenuhi semua standar kecantikan untuk memuaskan hati mereka? Haruskah seseorang menderita agar diterima di masyarakat?

Setelah menonton video itu, saya meyakini bahwa standar kecantikan adalah inovasi terburuk yang pernah dilakukan manusia. Tidak hanya melemahkan kemanusiaan, tetapi juga melunturkan logika.

Standar ini telah membuat semua orang mengidam-idamkan sesuatu yang tidak sesuai porsinya > mulai membanding-bandingkan > membuat setiap orang meragukan dirinya.

Mengidam-idamkan Sesuatu Tidak Sesuai Porsi

Tren kecantikan saat ini masih berkiblat pada industri hiburan Korea Selatan. Menurut saya pribadi, negeri gingseng itu telah berhasil membuka diri pada dunia melalui perkembangan yang masif di industri hiburan.

Industri yang menghasilkan para oppa dan nuna itu telah memperkenalkan suatu kebudayaan besar melalui gerakan kecil. Dari keterkenalannya, semua orang di dunia mulai membicarakan tentang perawatan yang membuat para artisnya tampak tampan dan cantik, mereka mulai melihat gaya berpakaian, mencoba mengenal makanan, hingga mempelajari bahasa mereka. Ini adalah suatu keberhasilan besar yang tampaknya tidak bisa ditiru dengan mudah oleh Amerika sekali pun.

Dari industri ini, banyak orang mulai gagal dalam melihatnya sebagai suatu hiburan. Mereka gagal melihat bahwa apa yang ada di hadapan mereka bukanlah suatu standar, melainkan hiburan yang tujuannya adalah untuk membuat orang-orang yang melihatnya lupa akan kepenatan hidup. Mereka gagal melihat bahwa mereka tampil seperti itu karena bekerja di industri hiburan yang mementingkan penampilan sehingga orang-orang yang tidak bekerja di industri tersebut tidak perlu tampil seperti mereka.

Dari kegagalan ini, mereka kemudian mengidam-idamkan untuk mendapatkan penampilan serupa. Parahnya, mereka secara tidak sadar mulai menjadikan apa yang mereka anggap indah sebagai standar mutlak di dunia kecantikan.

Melakukan Perbandingan

Setelah kegagalan itu, mereka mulai membandingkan penampilan mereka, penampilan orang-orang di sekelilingnya, dan mulai belajar agar tampil seperti para idola mereka.

Ada mereka yang meniru pakaian saja atau cara merias wajah atau rambut saja. Namun, ada juga yang meniru seluruh tampilannya hingga melakukan operasi plastik agar mirip dengan artis idolanya.

Setelah "merasa" mirip dengan idolanya, ia akan merasa terganggu ketika ada seorang penggemar yang tidak mirip dengan idolanya. Ia akan merasa bahwa penggemar itu tidak layak disebut penggemar atau tidak memenuhi standar kecantikan yang ia buat sendiri.

Tidak Menerima Diri

Setelah membanding-bandingkan, pasti timbul ketidakpercayaan diri hingga tidak menerima diri. Biasanya, orang-orang ini akan menjadi korban dari standar yang sebenarnya tidak ada. 

Yang menyedihkan adalah kadang korban itu adalah orang lain yang sebenarnya tidak berhubungan dan tidak peduli dengan kecantikan. Mereka hanyut karena "paksaan" orang lain yang percaya bahwa mereka "tidak sesuai" dengan "masyarakat" walaupun yang sebenarnya adalah sebaliknya: masyarakat itulah yang tidak sesuai dengan dunia.

Kesimpulan: Tentang Standar Manusia

Kita tidak bisa menyalahkan orang-orang yang menjadi korban sebagai orang yang salah. 

Pada kenyataannya, semua "korban" percaya bahwa mereka tidak akan melakukan operasi jika standar kecantikan itu tidak ada. Bagi para korban yang sudah kecanduan melakukan operasi, mereka mengaku akan berhenti melakukannya.

Setelah memikirkan semua itu, masih pantaskah manusia disebut mampu membuat standarnya sendiri? Haruskah mereka berhenti membuat standar?

Sebenarnya, apa yang harus dihentikan ketika segala sesuatunya saling berhubungan? Apakah standar ataukah orang-orang yang menghiraukan standar itu?

  • Share:

You Might Also Like

0 comments