Tentang Hak Asasi dan Nasib Pengungsi

By Nayanika Eleanor - Juni 20, 2022

Selama beberapa abad, pengungsi dan krisis pengungsi telah menjadi fenomena dan tantangan global, dari orang-orang yang melarikan dari dari Nazi sebelum dan selama PD II, hingga krisis besar di Haiti dan Balkan, ke konflik sekarang yang terjadi di Timur Tengah dan Siria. Jadi, apa yang memengaruhi cara pikir kita tentang pengungsi dan cara memperlakukan mereka.

Jawabannya sederhana, hukum. Dengan adanya perbatasan, hukum mengatur siapa saja yang dapat dan cara melewatinya telah menjadi dasar dalam menentukan bagaimana para pengungsi mendapatkan status legal dan bagaimana mereka diterima, atau tidak, di negara yang baru.

Blinkist kali ini akan melihat asal mula hukum dan peraturan, konsekuensi mereka hingga sekarang dan kira-kira bagaimana rupa peraturan ini di masa mendatang.

Perjuangan Hannah Arendt masih dilakukan para pengungsi di masa sekarang

Meskipun cerita filsuf Jerman-Yahudi Hannah Arendt ketika ia masih menjadi pengungsi terjadi pada 1930-an, ceritanya masih terus bergema hingga sekarang. Namun, kesamaan apa yang dapat kita hubungkan di ceritanya dengan kisah pengungsi sekarang?

Bangkitnya nasionalisme setelah Perang Dunia I mengakibatkan jutaan orang terlantar. Batas internasional dibuat ulang, revolusi yang terjadi di Russia dan Turki membunuh bangsa Armenia. Akhirnya, ada sekitar 9,5 juta pengungsi terdampar di seluruh Eropa pada 1926.

Selain itu, nasionalisasi ketentuan kesejahteraan dan tanggung jawab nasional untuk kesejahteraan ekonomi mengakibatkan kesenjangan antara apa yang dimaksud sebagai "bangsa" dan "orang asing."

Bangkitnya nasionalisme di Eropa setelah itu mengakibatkan partai fasis Nazi mendapatkan kekuatan di Jerman. Hukum dan retorika antisemit menyebatkan 25.000 orang, termasuk Hannah, melarikan diri dari negara tersebut dan menjadi pengungsi.

Awalnya, Hannah mearikan diri ke Cekoslovakia, lalu Perancis, dan akhirnya ke Amerika Serikat. Dalam perjalanannya, ia mengalami cara berbagai bangsa memandang pengungsi yang melarikan diri dari pembunuhan sebagai "orang yang tak dianggap" dan berpotensi membawa ancaman pada cara hidup mereka. Di sinilah, Hannah mewakili pengungsi moderen.

Terinspirasi oleh pengalaman ini, tulisannya mempertanyakan konflik antara hak masyarakat dengan hak asasi manusia, sesuatu yang para pengungsi hadapi hingga saat ini.

Masyarakat mendapatkan hak-hak dari menjadi bangsa suatu negara. Namun, para pengungsi, kehilangan hak-hak tersebut setelah mereka masuk ke perbatasan negara lain. Hannah menyatakan bahwa tanpa menjadi warga suatu negara, pengungsi tidak bisa memiliki hak apa pun, yang kemudian membuatnya mempertanyakan: apakah hak asasi manusia mendasar ada di luar perbatasan?

Ketika orang-orang muncul di perbatasan negara lain, hal terbaik yang bisa mereka harapan adalah respons moral terhadap sisi kemanusiaan mereka.

Respons Amerika pada pengungsi Haiti adalah contoh dari kebijakan pengungsi moderen

Bagaimana cara pandang hak asasi manusia vs hak-hak masyarakat berkembang di abad keduapuluh?

Gambaran umumnyaadalah respons pada krisis pengungsi Hati pada 1980-an, yang pada saat itu 25.000 pengungsi Haiti sampai dengan kapal di Florida dengan maksud melarikan diri dari para Presiden diktator yang kejam Doc Duvalier dan anaknya Baby Doc Duvalier, keduanya akan menggantung para kritikus mereka di depan tempat umum.

Namun pemerintahan Ronald Regam tidak bersimpati. Alih-alih menerima para pengungsi dengan tangan terbuka, mereka menghentikan kapal sebelum sampai di tepi pantai. Ia mengirim kembali orang-orang itu ke Haiti.

Larangan ini sangat kontroverisial karena bertolak belakang dengan Konvensi Pengungsi PBB 1951 yang menyatakan bahwa pengungsi tidak boleh dikirim kembali ke negara asal mereka jika mereka dalam bahaya.

Kritik terhadap larangan tersebut dianggap sebagai rasis mengingat pemerintah memperlakukan para pengungsi secara berbeda berdasarkan dari mana asal mereka. Contohnya, para pengungsi dari Kuba sering kali menerima perlakuan menyenangkan dari pihak imigrasi ketika memasuki Amerika Serikat.

Pemerintah merespons dengan melakukan wawancara dengan para pengungsi di dek kapal Coast Guard untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan suaka dan siapa yang harus dikirim kembali ke negaranya.

Tempat seperti Guantanamo Bay juga mempermudah pemerintah menghapus hak orang-orang tersebut. Para pengungsi yang tidak langsung dikembalikan ke Haiti dibawa ke Guantanamo Bay, basis militer di Kuba.

Yurisdiksi legal Guantanamo sangat membingungkan: daerah itu disewa dari Kuba, tetapi Amerika Serikat mengendalian daerah tersebut. Hal ini membuat Amerika Serikat menahan hak mendasar para pengungsi yang ditahan di sana.

Berita mengenai keadaan mereka akhirnya didengar oleh para pengacara dan politisi, yang datang membantu para pengungsi. Namun, mereka tidak dapat banyak membantu: Mahkamah Agung memutuskan bahwa Konvensi Pengungsi PBB, yang memberikan mereka hak dasar tersebut, hanya berlaku di perbatasan AS, sehingga pengungsi di Guantanamo tidak dapat menikmati hak tersebut.

Sering kali, pengungsi seperti Mohammad Al Ghazzi diperlakukan seperti kriminal setelah sampai di negara baru

Pada 1990-an, Mohammad Al Ghazzi dan keluarganya mengalami persekusi di bawah rezim Saddam Hussein karena saudaranya terlibat dengan Islamic Dawa Party, yang beroposisi dengan Saddam.

Setelah dua tahun dipenjara setelah penangkapannya, ia memutuskan untuk melarikan diri ke Iraq dengan harapan mendapatkan suaka di Australia. Ceritanya menggambarkan banyak pengungsi berhubungan erat dengan para penyelundup dan bahaya.

Untuk bisa mencapai Australia, ia terbang ke Malaysia, di mana para penyelundup mengelilingi bandara dan mencari para pengungsi untuk ditawari jalur melalui kapal. Ia membayar USD2.000 yang hampir tenggelam selama hampir dua hari perjalanan ke Samudra Hindia menuju Australia.

Hal serupa mengakibatkan kematian keluarganya, empat orang dewasa dan 10 anak-anak, semuanya tenggelam di laut ketika kapal mereka tenggelam setelah memutuskan untuk mengikutinya setahun kemudian. Dari 400 orang di kapal, hanya 45 yang selamat.

Namun, Australia tidak memiliki perasaan. Para pengungsi diperlakukan lebih buruk daripada kriminal. Setelah sampai di Pulau Chrismast, Mohammad dibawa ke Curtin Detention Center, di mana para pengungsi menghabiskan berjam-jam di bawah terik matahari tanpa dapat menghubungi pengacara atau menikmati dunia luar - keadaan yang membuat orang-orang yang ditahan ingin bunuh diri.

Akhirnya, mereka memulai aksi mogok makan - beberapa dari mereka bahkan menjahit bibir mereka hingga orang-orang yang berwenang mulai memproses klaim suaka mereka.

Antara 1992 dan 2005, para pengungsi di Australia sering ditahan lebih lama daripada para pelaku kriminal besar. Hannah mengomentari perlakukan semacam ini 50 tahun sebelumnya. Ia menulis bahwa mengingat para kriminal masih memiliki hak sebagai warga, mereka diperlakukan lebih layak daripada para pengungsi yang tidak memiliki hak tersebut.

Setelah 11 tahun ditahan, Mohammad akhirnya mendapatkan bantuan hukum dan klaim suakanya akhirnya diakui.

Eropa sebagai jaringan perbatasan, batasan, dan zona transit yang rumit

Pascaperang Dunia II, Eropa melihat salah satu krisis pengungsi terbesar dalam sejarah kita. Namun, apakah ada perbaikan terkait hak-hak para pengungsi? Melihat pada yang disebut "Fortress Europe", tampaknya tidak banyak perubahan yang terjadi.

Hukum imigran Eropa telah menjadi sangat membatasi di beberapa tahun terakhir. Contohnya, dari 1992 hingga 2005, pemerintah Inggris meloloskan enam hukum suaka, setiap hukum mempersulit para pengungsi untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk membuktikan persekusi yang mereka hadapi.

Jerman Barat, setelah PD II, menyatakan bahwa "orang-orang yang dipersekusi atas dasar politik dapat menikmati hak suaka." Namun, setelah jatuhnya dinding Berlin, meningkatnya pencari suaka yang mencapai 438.000 pada 1992, menciptakan reaksi neonazi yang bengis dan ketidaktentraman. Pemerintah membuat dan menerapkan amandemen konstitusional yang membatasi klaim pengungsi.

Lalu, ada Peraturan Dublin Uni Eropa yang menyatakan bahwa klaim suaka harus dibuat di negara kedatangan pertama Eropa. Akhirnya, negara-negara di perbatasan luar Eropa, seperti Yunani, Ukraina, dan Polandia memiliki kebijakan terketat dengan tingkat penolakan tertinggi.

Disamping itu, penerbangan yang murah mempermudah pengungsi untuk meninggalkan negara mereka. Hal ini mengakibatkan zona transis bandara tidak memiliki hukum dan berada di pusat banyaknya pelanggaran klaim hak asasi manusia.

Di Eropa, zona transit ini mirip seperti Guantanamo: para pengungsi tidak diberi akses sistem hukum atau hak untuk mengajukan banding terkait petisi mereka akan perlakuan yang tidak adil.

Contohnya, pada 1999, perempuan Algeria berusia 40 tahun yang mencari pengungsian akibat persekusi dan berkali-kali dilecehkan oleh polisi Algeria ditahan di bandara Frankfurt akibat dokumen yang tidak lengkap. Setelah lebih dari 100 hari tahanan, akhirnya ia menggantung dirinya sendiri di kamar mandi zona transit bandara.

Kemudian, ada juga kasus pengungsi Palestina yang menghabiskan tujuh bulan di zona transit bandara Praga. Di sana, ia dipaksa mandi di toilet umum dan hidup dari tiket makan bandara sebelum akhirnya menerima suaka.
   

Sistem pengungsi Kanada dapat dianggap sebagai contoh masa depan reformasi kebijakan pengungsi

Pada 1989, Kanada mengubah kebijakan pengungsinya setelah pengungsi dari Rwanda dan India mengajukan banding terhadap keputusan pemerintah terkait kasus mereka. Kasus itu, Singh v. Menteri Ketenagakerjaan dan Imigrasi, akhirnya mengirimkannya pada Mahkamah Agung, yang mendukung pengaju. Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk memberikan para pengungsi hak konstitusional untuk mengikuti dengar pendapat secara langsung.
 
Kebijakan Kanada masih belum sempurna, tapi dapat mewakili terobosan dalam hak-hak pengungsi. Contohnya, kebijakan itu tidak menyatakan negara tempat dengar pendapat dilaksanakan, atau apakah kebijakan itu menjamin hak untuk mengajukan banding atau mendapatkan bantuan hukum. Namun, kebijakan itu memberikan pengungsi setiap haknya sangatlah luar biasa.

Mengingat dengar pendapat dapat dilakukan di negara mana saja, kebijakan itu dianggap "portable," dalam arti bahwa itu dapat berlaku di setiap negara yang menghargai standard tersebut. Namun, kasus Ahmed Ressam menunjukkan bahwa, agar reformasi kebijakan berjalan lancar, membutuhkan program deportasi yang dibiayai dengan baik dan keamanan paspor.

Ahmed mengikuti sistem imigrasi di Kanada pada 1994, tapi pengajuannya ditolak. Departemen deportasi Kanada cukup dibiayati tetapi membiarkan Ahmed terlantar selama bertahun-tahun. Tidak mampu bekerja, Ahmed melakukan tindak kriminal dan akhirnya direkrut oleh al-Qaeda.

Hukum pasport yang lemah membuat Ahmed mendapatkan paspor Kanada dengan sedikit lebih baik daripada sertifikat baptis dengan nama palsu dan akhirnya ia ditangkap karena mencoba mengirimkan bom ke Amerika Serikat. Namun, kebijakan imigran Kanada saat ini mempermudah pihak berwajib untuk menangani ancaman teroris.

Terduga teroris yang memasuki sistem imigrasi tunduk pada sertifikat keamanan, alat yang membantu pihak berwajib untuk segera mendeportasi orang-orang yang berhubungan dengan aktivitas terorisme. Akibat kebijakan ini, mulai 2009, tidak ada teroris yang dapat melewati sistem pengungsi Kanada untuk melakukan serangan di Amerika Utara.

Sejarah dan versi kebijakan Kanada terbaru memberi kita harapan pada masa depan

Pendekatan Kanada pada suaka adalah salah satu yang menggunakan konsep liberal dan demokratis hak-hak manusia. Versi pendekatan mereka yang telah diperbarui, yang dapat kita anggap sebagai pendekatan prosedur portabel, sangat sesuai untuk digunakan di seluruh dunia.

Kebijakan prosedural portable secara mendasar menghargai kekhawatiran Hannah Arendt dan tetap berkomitmen untuk menghargai hak-hak asasi manusia. Selain mendapatkan hak dengar pendapat, pendekatan ini juga memberikan para pengungsi hak mendapatkan bantuan hukum dan periksa ulang yudisial jika mereka ingin mengajukan banding terkait keputusan yang diberikan.

Setelah pengalaman yang tidak mengenakkan, Hannah yakin bahwa bangsa-bangsa mungkin tidak akan pernah memberikan hak asasi manusia pada orang-orang yang bukan warga negara tersebut. Dengan memberikan hak-hak ini pada pengungsi - hak yang dianggap oleh banyak bangsa sebagai hal mendasar bagi warganya terlepas sifat atau riwayat pidananya - kita akan bekerja membuktikan bahwa Hannah salah.

Memang, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa dapat berubah dan memperbaiki kebijakan emreka dengan cara yang lebih menghargai hak asasi manusia. Meskipun ada kritikus yang terus berpikir bahwa reformasi kebijakan pengungsi tidak akan pernah terjadi, ada banyak kejadian sebelumnya yang membuktikan bahwa hak asasi manusia dapat membuat bangsa berubah menjadi lebih baik.

Penghapusan perdagangan budak di abad kesembilan belas adalah contoh nyata dari sebuah nilai hak asasi manusia yang mencakup seluruh kekahwatiran keuangan dan nasional bangsa-bangsa. Dalam hal ini, hak asasi manusia dianggap lebih penting daripada kekhawatiran politik dan ekonomi bangsa-bangsa, seperti ketika diskriminasi ras yang diakhiri di Afrika Selatan selama 1990-an.

Perkembangan ini memberikan kita harapan bahwa, akhirnya, hak asasi manusia akan melingkupi dalam krisis pengungsi saat ini.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments