Yoga : Lebih dari Sekadar Latihan Fisik

By Nayanika Eleanor - Juni 27, 2022

Ketika mendengar kata "yoga," apa yang pertama kali muncul di benak Anda? Jika Anda seperti orang kebanyakan, bisa jadi bayangan yang muncul adalah orang sedang melakukan perenggangan. Namun, jika memahami yoga sebenarnya, Anda tahu bahwa itu lebih dari sekadar salah satu bentuk latihan fisik. 

Yoga sudah ada sejah ribuan tahun silam. Dan yoga adalah bentuk filosofi dan latihan spiritual yang membuat pelakunya mengalami perubahan diri dan mencakup banyak hal, seperti pikiran dan tubuh, moral dan etika, dan metafisika dan psikologi.

Sebagai filosofi, yoga dapat terlihat berhubungan dengan kebatinan. Namun, sebagai bentuk latihan, gerakannya cukup sederhana. Yoga menunjukkan jalan langsung menuju kedamaian dan kebahagiaan, mengajarkan kita cara mengatasi hambatan yang dihadapi di sepanjang jalan itu. Kita pelajari semuanya dalam Blinkist.

Yoga dan berbagai latar belakang spiritual

Di masa antara 500 SM dan 300 M, seorang guru spiritual asal India bernama Patanjali menjelaskan prinsip utama yoga dalam 196 kata mutiara yang disebut sutras dalam bahasa Sansekerta. Hal itu kemudian menjadikan istilah yang dikenal sekarang sebagai Yoga Sutras of Patanjali.

Itu adalah salah satu teks lama tentnag yoga. Jadi, jika ingin belajar tentang filosofi dan praktik terkait yoga, Anda dapat mempelajarinya dari sini. Namun, ada masalah: cara penulisannya.

Setiap sutra terdiri dari kalimat atau potongan kalimat pendek, padat, dan sering kali sulit dimengerti. Banyak diantaranya yang bahkan tidak memiliki subjek dan predikat yang jelas. Beberapa orang percaya bahwa kalimat-kalimat itu hanyalah catatan singkat yang ditulis oleh murid-murid Panjali dari untuk mengingat perkataan gurunya. Hal ini membuat sutras membutuhkan penerjemahan dan penafsiran mendalam.

Di sinila Sri Swami Stachidananda menafsirkan Yoga Sutras dalam bahasa yang membuatnya dapat diikuti oleh semua orang dari berbagai latar belakang spiritiual.

Sebagai remaja, Sri mempelajari agrikultur, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Namun, ia tidak puas dan akhirnya meninggalkan semua itu untuk beralih ke yoga. Selama bertahun-tahun, ia menganggap Yoga Sutras sebagai teks petunjuk atas perjalanan spiritualnya.

Di akhir 1970-an, setelah dikenal di kancah internasional sebagai master yoga, ia memutuskan untuk menulis terjemahan dan penafsirannya atas sutras tersebut untuk memperkenalkannya pada audiensi moderen dengan keragaman religius.

Sekarang, sutras telah dianggap sebagai naskah Hindu, tetapi Sri tidak menganggap dirinya termasuk ke dalam golongan orang-orang Hindu atau agama mana pun. Ia memandang yoga sebagai salah satu dari banyak cara mengungkapkan, memahami, dan menerapkan kebenaran mendasar yang sama yang ada dalam filosofi agama dan spiritual lain, seperti Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam.

Perhatikan kata yoga. Dalam bahasa Sansekerta, "yoga" berarti "persatuan." Dalam melatih yoga, kita berusaha untuk mencapai kesatuan - yang kemudian menghasilkan pertanyaan: Persatuan dalam hal apa?

Seperti banyak tradisi spiritual dunia yang berbeda, Sri menyebutkan dalam banyak nama: Tuhan Purusa, Atman, Isvara, Sang Peramal, dan pikira kosmik. Namun baginya, nama bukan hal yang penting. Yang terpenting adalah kebenaran di baliknya.

Apa kebenaran itu? Nyatanya, kebenaran itu melebihi batas bahasa, tetapi konsepnya adalah bahwa ada sebentuk ruh, senyawa, prinsip, kesadaran, makhluk, atau kekuatan yang berada di atas dan menampakkan diri dalam semesta materiil.

Yoga memberikan hasil nyata

Jika memiliki pandangan ilmiah, Anda bisa saja mengabaikan pembicaraan tentang Tuhan atau apa pun yang disebut para praktisi yoga mengenai hal misterius yang mendasari penciptaan semesta. Namun, coba pikir: jika seorang ilmuwan mengatakan bahwa segalanya hanyalah energi yang merupakan diri dalam berbagai bentuk, tidakkah konsep tentang sesuatu yang mendasari penciptaan semesta lebih masuk akal?

Jika demikian, dan jika kata "energi" lebih masuk akal bagi Anda, tidak ada paksaan. Sri tidak meminta Anda untuk mempercayai kosa kata, doktrin, atau konsep tertentu untuk menggambarkan, menjelaskan, atau memahami dunia. Ia hanya mengajak Anda menggunakan yoga sebagai alat untuk mengubai diri dan hubungan Anda dengan dunia. Di sini, sebagaimana dalam dunia ilmiah, satu hal yang paling penting: menghasilkan hasil yang nyata.

Dalam pandangan Sri, konsep dan kitab filosofis yoga hanya ada untuk melengkapi sisi intelektual pikiran. Keduanya adalah cara untuk mengungkapkan kebenaran yang tidak dapat diungkapkan tentang zat tersebut dan semesta. Namun, berdasarkan konsep dan kitab tersebut, kebenaran tidak dapat ditangkap hanya dengan berpikir atau membacanya. Itu hanya dapat dipahami secara menyeluruh dengan mengalaminya secara langsung.

Di sinilah latihan yoga masuk. Yoga memiliki delapan komponen: latihan menahan napsu, mengamati, mengendalikan postur tubuh, mengendalikan napas, mengendalikan indra, konsentrasi, menditasi, dan kontemplasi. Jadi, latihan yoga ditujukan untuk menghasilkan atau mempersiapkan kita menghasilkan pengalaman kebenaran.

Sebenarnya pengalaman dan kebenaran apa yang dibicarakan? Mari kita kembali ke makna kata "yoga": tindakan bersatu dengan Tuhan, pikiran kosmik, atau apa pun yang Anda sebut sesuatu yang mendasari terciptanya semesta. Persatuan itu adalah pengalaman. Dan keberadaan sesuatu itu adalah kebenaran.

Menurut Sri, Patanjali, dan praktisi yoga lainnya, pengalaman kebenaran itu akan membawa perubahan berupa kebahagiaan dan damai, dan latihan yoga hanyalah cara untuk mendapatkan pengalman itu. Namun, kita tidak harus mempercayainya. Kita hanya perlu mencoba dan membuktikannya sendiri.

Filosofi yoga: Jangan mengasosiasikan diri dengan hal-hal lain

Di sini, Anda mungkin langsung ingin masuk ke contoh latihan yoga. Memang ini semua adalah tentang itu. Namun, untuk memahami yoga di tingkat intelektual, mengetahui filosofi di baliknya bisa sangat membantu.

Tergantung latar belakang dan kepekaan Anda, filosofi bisa terasa sedikit berhubungan dengan kebatinan, tapi jangan menyerah dulu. Bayangkan saja filosofi seperti sebuah tangga yang diperlukan untuk memahami sesuatu, tapi setelah sampai di tempat kita tidak bisa meninggalkannya.

Poin folosofi yoga adalah membantu kita mendalami latihan itu sendiri. Setelah memahaminya, Anda bisa berhenti, kalau mau.

Cara termudah untuk memahami filosofi yoga adalah memulainya dari diri sendiri. Siapa diri Anda? Jawaban bisa muncul, seperti "Aku adalah laki-laki atau perempuan, ibu atau ayah, guru atau dokter." Atau apa pun.

Namun, semua kata-kata tersebut mengungkapkan konsep yang ada dalam benak kita tentang aspek tertentu dari tubuh, kehidupan, atau hubungan dengan orang atau hal lain. Mengatakan hal, seperti "Aku adalah orangtua," atau "Aku kaya," sebenarnya sama saja dengan mengasosiasikan diri dengan konsep terkait hal tersebut. Namun, mereka bukanlah hal tersebut. Orang kaya bukanlah uang dalam rekeningnya. Maka dari itu, asosiasi ini salah.

Jika Anda membuang asosiasi salah itu, apa yang hal itu tinggalkan? Anda bisa berkata, "Aku hanyalah tubuh dan pikiranku sendiri." Namun, perhatikan kata-kata tersebut: tubuh dan pikiranku sendiri. Kedua hal itu adalah milik Anda - tubuh dan pikiran yang dapat Anda amati. Namun, keduanya adalah milik Anda dan Anda sendiri dapat melihatnya. Jadi, Anda tidak mungkin adalah tubuh dan pikiran juga. Jadi, pasti ada hal lain yang merupakan Anda sebenarnya.

Apa itu?

Diri kita yang sebenarnya adalah ruh

Pikrikan ini seperti persamaan matematika: Hilangkan tubuh, pikiran, dan segala hal lain yang berada di luar Anda, seperti pekerjaan, kekayaan, dan jenis kelamin. Tinggal apa? Itulah Anda. Agar lebih filosofis, yang tersisa hanyalah "aku" yang sejati, bersih dari semua asosiasi dengan sesuatu yang bukan diri kita, yang disebut "bukan diri". Mari kita anggap "aku" yang sejati ini sebagai Diri yang sebenarnya.

Ini juga berlaku untuk orang lain. Orang lain juga adalah diri yang sebenarnya. Namun, jika diri yang sebenarnya dari Anda dan tetangga adalah seperti "aku" yang sejati yang tidak dapat dibedakan dalam hal apa pun yang biasa digunakan untuk mengasosiasikan orang, bagaimana kita bisa membedakan diri dengan orang lain?

Itulah intinya. Kita tidak ada bedanya dengan orang lain.

Jika diri yang sebenarnya yang berada dalam benak dan tubuh tidak dapat dibedakan dari diri sebenarnya orang lain, pasti keduanya adalah hal yang sama. Sifat dari hal itu tidak dapat dijelaskan dalam bahasan, tetapi jika ingin membahasnya, kita harus menamainya. "Diri yang sebenarnya" dan "Ruh."

Sekarang, hal yang sama dapat diperluas ke seluruh makhluk hidup dan benda tak bergerak. Ambil contoh seseorang atau sesuatu di semesta, hilangkan sifat yang telah kita asosiasikan dengan salah. Yang tersisa adalah diri sebenarnya atau ruhnya yang tidak dapat dibedakan dengan yang lainnya.

Ole hkarena itu, ruh yang sama ada di setiap orang dan segala hal di semesta - dari manusia hingga bebatuan. Di balik seluruh penampilan pembeda yang berada di luar, segala hal sejatinya sama-sama diri yang sesungguhnya.

Dalam terminologi filosofi yoga dalam bahasa Sansekerta, totalitas semesta materiil disebut Prakrti. Hal ini mencakup segala hal yang digambarkan sebagai materi, seperti benda. Ia juga mencakup pikiran, yang dianggap filosofi yoga sebagai produk materi yang mengisi bentuk halus dan rumit.

Diri sebenarnya atau ruh yang berada dalam Prakrti disebut Purusa. Hubungan antara keduanya ada dalam jantung filosofi yoga. Dan seperti yang kita lihat, itu juga titik ketika filosofi berubah menjadi praktik.

Pikiran adalah refleksi Purusa yang kacau dan egois

Sebentar, sebenarnya apa itu diri yang sebenarnya? Diri yang sebenarnya bisa dinamakan sebagai ruh yang kita ketahui yang ada dalam semua orang dan apa saja, tapi apa sebenarnya itu?

Pertanyaan itu sebenarnya membawa kita pada masalah selanjutnya. Jika diri sebenarnya memang ada, bagaimana kita bisa bertanya apa itu? Jika Anda adalah diri yang sebenarnya, tidak ada yang lebih tahu tentangnya kecuali diri Anda sendiri. Namun, kenapa orang terbiasa mengasosiasikan diri dengan hal yang bukan diri yang sebenarnya?

Bayangkan pikiran adalah permukaan danau. Jiká melihatnya, Anda dapat melihat pantulan berbagai hal, termasuk bagian tubuh Anda, di mana pikiran Anda hanyalah bagian. Pantulan itu juga termasuk makhluk dan benda Prakrti lain, atau seluruh materi semesta, yang dapat dipahami pikiran melalui panca indra tubuh yang juga termasuk bagian.

Sekarang, pikirkan yang terjadi pada permukaan danau jika diganggu oleh sesuatu seperti lumpur atau angin. Danau akan menjadi keruh atau berombak. Dalam hal itu, pantulannya menjadi kacau, seperti cermin kotor.

Hal serupa terjadi pada pikiran. Pikiran negatif, emosi, keinginan, ketergantungan, dan kepercayaan semu memenuhi pikiran dengan gangguan dan kotoran. Hal ini membuat air pikiran keruh dan berombak yang mengakibatkan pantulan realitas menjadi kacau.

Jika pikiran mirip seperti cermin, siapa yang melihatnya? Jawabannya adalah Purusa, atau diri yang sebenarnya. Namun, jika diri yang sebenarnya meliht cermin yang kacau, hasilnya akan menjadi pantulan kacau dari diri yang sebenarnya. Kita dapat menamai pantulan kacau tersebut sebagai ego.

Ketidaktahuan diri memunculkan sifat egois dan penderitaan

Mari kita rangkum: ada pikiran yang mirip seperti permukaan danau. Ada diri yang sebenarnya yang terpantul di permukaan danau. Lalu ada hal seperti pikiran negatif dan emosi yang membuat permukaan kacau. Akhirnya, pikiran menciptakan ego yang adalah pantulan kacau dari diri yang sebenarnya. 

Sekarang, jika kita melihat permukaan danau itu - dengan kata lain jika kita melihat pikiran sendiri - yang yang terlihat? Siapa di sana? Jika Anda menjawab, "Itu aku" Anda salah. Itu adalah ego, bukan diri yang sebenarnya.

Namun jika kita melihat permukaan dan bilang, "Itu aku," kita sedang menafikan diri sebenarnya dan mengasosiasikannya dengan ego - dan kata itu berujung pada egoisme yang mengakibatkan kita jatuh pada segala macam masalah.

Dengan melihat pada pantuman kacau pikiran dan bilang, "Itu aku," kita hanya mengasosiasikan diri dengan ego dan segudang hal yang berkaitan dengannya. Yang kita lihat di permukaan memang pantulan kacau dari diri sebenarnya, tetapi ingat hal yang mengacaukannya. Segala hal yang kita lihat di permukaan danau diwarnai dan tercampur dengan pikiran negatif, emosi, keinginan, ketergantungan, dan kepercayaan semu yang mengotori dan mengganggunya. 

Jika kita menganggap diri sendiri sebagai ego itu, kita juga berarti sedang mengasosiasikan diri dengan hal yang dibawa ego itu.

Contohnya, jika kita menginginkan kekayaan, ingin memiliki sesuatu, atau kepercayaan bahwa kita adalah tubuh kita, kita akan mengasosiasikan diri dengan semua hal itu dan segala hal tentangnya. Akhirnya, jika hal buruk terjadi pada mereka, kita akan menganggap hal buruk itu terjadi pada kita, bukan pada hal-hal itu. Walaupun tidak terjadi hal buruk, kita masih akan ketakutan pada hal buruk ya bisa terjadi.

Berlatih yoga agar pikiran tenang dan jernih

Secara teori cara keluar dari penderitaan dan ego adalah menenangkan dan menjernihkan danau. Dengan begitu kebenaran akan terlihat: pantulan diri yang sebenarnya. Setelah digantikan oleh pantulan ini, ego itu akan hilang dari pikiran bersama dengan egoisme dan penderitaan yang diakibatkannya.

Contohnya, ketiká hal buruk terjadi pada bisis karir atau hal lain yang bukan kita, kita tidak lagi menganggapnya sebagai terjadi pada diri kita. Malah, kita akan menganggapnya hanya terjadi pada hal itu. Hal ini dapat dirusak atau dihancurkan, tapi kita yang sebenarnya tidak akan terdampak.

Bagaimana cara untuk membuat air danau tenang dan jernih?

Jika ingin membuatnya jernih, Anda harus mulai membuang segala hal yang mengacaukan dan mengotorinya. Hal serupa juga berlaku pada pikiran. Berarti, Anda harus membuang seluruh pikiran negatif, emosi, keinginan, ketergantungan, dan kepercayaan semu. Itu memang terdengar lebih mudah daripada yang sebenarnya.

Dalam dunia yoga, Anda dapat melakukan lima latihan menahan hawa napsu (yama) dan lima latihan ketaatan (niyamas). Lima yamas dipermukan untuk menghindari diri dari mencuri, berbohong, tamak, bernapsu, dan kasar. Lima niyamas adalah untuk mendedikasikan diri untúk kesucian, kepuasan, penerimaan derita, pelajaran teks spiritual, dan melayani Tuhan atau apa pun Anda menyebutnya. 

Dengan melatih menahan hawa napsu dan ketaatan, Anda mulai meninggalkan dunia luar yang bersifat materiil dan mulai berfokus pada menjernihkan pikiran. Bagaimana? Dengan memperbaiki tindakan moral dan etis, mengendurkan ikatan keinginan jasmani dan ketergantungan duniawi, berhenti mencari kebenaran dan kebahagian di luar diri sendiri, dan mulai mencarinya dalam diri sendiri. Atau, lebih tepatnya, Anda mulai mencarinya dalam diri yang sebenarnya, yaitu ruh dalam diri Anda.

Praktik yoga membantu Anda mencapai kondisi spiritual bernama Samadhi

Prinsip moral dan etis yamas dan niyamas terlihat mudah diikuti. Contohnya, mencuri tidak terasa sulit untuk dihindari. Namun, ini adalah pemahaman sederhana dan terlalu harfiah dari yang dimaksud dengan mencuri. Mencuri lebih dari hanya membawa lari sebuah barang dari toko. Mencuri di sini berarti mengambil sesuatu yang bukan atau seharusnya bukan milik Anda, menyalahgunakannya, atau "mengamankannya."

Di sini, jika bukan orang suci, Anda akan selalu mengalami peningkatan moral dan etik. Sekarang, banyak pekerjaan lain yang dapat dilakukan untuk menenangkan dan menjernihkan pikiran sehingga dapat menerima diri yang sebenarnya.
 
Anda mungkin mengenal salah satu cara menenangkan atau menjernihkan pikiran: meditasi. Tapi jika pernah mencobanya, Anda juga tahu bahwa itu bukan perkara mudah. Sulit untuk fokus pada satu hal, terutama ketika tubuh sakit, pikiran melayang, dan beragam pikiran, sensasi, dan emosi yang tidak diinginkan terus mengganggu kesadaran.

Latihan fisik dan mental yoga dimaksudkan untuk menanggulangi hambatan meditas itu. Pengendalian postur membantu kita melatih tubuh agar tetap pada posisi tersebut selama beberapa saat. Latihan pengendalian pernapasan membantu kita bernapas dengan pelan, seimbang, dan teratur yang keduanya dapat mendukung fokus dan kedamaian pikiran.

Latihan pengendalian indra membantu untuk mengurangi sensasi yang mengganggu. Dan latihan konsentrasi membantu memperkuat kemampuan kita untuk memfokuskan pikiran pada hal, sensasi, gambaran, sifat, dan konsep sederhana.

Setelah memahaminya, Anda dapat lanjut ke meditasi pada hal yang paling penting: Diri yang sebenarnya, Tuhan, ruh, atau apa pun Anda menyebutnya. Kadang ketika bermeditasi, pikiran Anda bisa menjadi sangat tenang dan jelas hingga akhirnya hilang diri sebagai subjek yang bermeditasi untuk objek. Subjek dan objek melebur dan setiap jarak di antara keduanya hilang.

Saat itu, Anda akan mencapai langkah terakhir yoga: Samadhi atau kontemplasi, di mana diri yang sesungguhnya akhirnya menunjukkan segala keagungannya.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments