Jalan Menuju Kebahagiaan

By Nayanika Eleanor - Januari 01, 2022

Blinkist kali ini akan membahas "A Monk's Guide to Happiness" karya Gelong Thubten. Sebagaimana judulnya, buku ini akan mengajari kita tentang cara menggapai kebahagiaan yang diidamkan semua orang. Apakah kebahagiaan yang dibibahas dalam buku sama dengang yang kita pikirkan? 

Mari kita lanjutkan. Sebelumnya, saya ingin mengucapkan selamat kepada siapa pun yang mengenal penulis. Itu artinya Anda lebih sering membaca daripada saya.

Jika ditanya kekuatan super apa yang ingin Anda miliki, kira-kira apa jawabannya?

Orang-orang biasanya akan menjawab pertanyaan dengan dengan kekuatan yang biasa dimiliki oleh kemampuan pahlawan super yang biasa disuguhkan oleh komik, seperti terbang, tak terlihat, telekinesis dan sejenisnya. Tapi, apakah bahagia terlintas dalam benak Anda?

Bayangkan jika pikiran memiliki saklar yang bisa ditekan untuk mendatangkan kedamaian di mana pun Anda berada dan apa pun yang terjadi.

Mungkin tidak terdengar keren seperti kemampuan melayang, tatapi hal ini cukup membawa perubahan dalam hidup. Dan itu juga bisa menjadi sesuatu yang sangat luar biasa.

Hanya dengan satu sentuhan, Anda bisa tetap tenang dalam tekanan dan menahan semua kesulitan yang sedang dihadapi.

Selain itu, tidak seperti kekuatan super yang biasa ditemukan di komik-komik, ini adalah kemampuan yang dapat dipelajari dan miliki.

Kebahagiaan adalah perasaan bahagia dan bebas


Sebelum menggali lebih dalam tentang cara bahagia, mari mundur dan memulainya dengan menanyakan pertanyaan mendasar: Apa sebenarnya kebahagiaan itu?

Hal ini bisa terasa seperti pertanyaan yang cukup filosofis, tetapi implikasinya sangatlah nyata. Jika kita sedang mencari sesuatu, kita harus tahu apa yang dicari, kan?

Jadi, perasaan bahagia itu sebenarnya terdiri dari apa saja? Bahagia memiliki tiga komponen utama.

Pertama, rasa bahagia. Ketika bahagia, kita tidak merasa kurang sesuatu saat itu. Kita merasa segalanya sempurna, sebagaimana adanya kita saat itu.

Dengan kata lain, kita merasa puas. Kita tidak berharap memiliki sesuatu yang belum dimiliki, entah itu barang materi, pengalaman, atau keadaan.

Contohnya, kita tidak akan berpikir, "Anda saja aku punya perangkat baru yang canggih atau pekerjaan yang lebih baik, pasti aku bahagia." Ketika bahagia, kita sudah merasa puas. Jadi apa pun keadaan kita, rasanya cukup.

Itu membawa kita pada komponen kebahagiaan kedua, yaitu fokus pada saat ini. Ini berarti kita tidak  sedang memikirkan masa lalu atau depan, yang membuat kita terjebak pada kepahitan atau ketidakpastian.

Contohnya, "Kuharap aku tidak mengatakan itu pada temanku" atau, "Kira-kira dia akan bilang apa ketika aku bertemu dengannya nanti." Orang bahagia akan fokus pada saat yang sedang dialaminya.

Sehubungan dengan itu, kita bisa merasakan kebebasan. Ini adalah komponen ketiga kebahagiaan. Kita tidak terkungkung oleh emosi negatif dan keinginan yang tiada henti yang datang dengan mengorek masa lalu, membayangkan masa depan atau berharap masa kini menjadi berbeda. Kita akan terbebas dari semua sumber ketidakbahagiaan itu.

Ketidakbahagiaan timbul akibat ketidakpuasan


Jika kebahagiaan ditandai dengan rasa puas, kekinian, dan kebebasan, ketidakbahagiaan ditandai dengan kebalikannya: rasa ketidakpuasan, kealpaan, dan keterkungkungan. Mari kita pelajari perasaan-perasaan itu.

Dari mana datangnya ketidakpuasan? Biasanya itu datang dari keinginan kita. Ketika menginginkan sesuatu, sesuatu itu adalah hal yang tidak kita miliki tapi rasanya harus dimiliki.

Contohnya, jika ingin promosi jabatan yang belum diterima, tapi berpikir bahwa Anda bahagia jika mendapatkannya, itu membuat Anda tidak puas.

Dalam benak Anda, promosi menjadi salah satu bagian yang hilang dari kotak kebahagiaan Anda. Sekarang rasanya seperti ada ruang kosong dalam hidup, dan Anda sangat ingin mengisi kekosongan itu.

Jika menengok ke dalam cara berpikir ini, ada asumsi mendasar bahwa kebahagiaan dari luar diri kita. Entah itu keinginan akan barang material, pengalaman, atau pencapaian, kita merasa akan bahagia jika sudah mendapatkan hal-hal tersebut.

Oleh karenya, kebahagiaan sepertinya tergantung pada kepemilikan kita apa hal-hal tersebut, sedangkan ketidakbahagiaan seperti datang dari karena tidak memilikinya.

Namun, cara berpikir seperti ini sangat tidak benar. Pasalnya, hal itu membuat kebahagiaan kita tergantung pada pengaruh luar, yang sering kali berada di luar kendali.

Kembali ke contoh sebelumnya, Anda bisa bekerja sekeras mungkin, tapi promosi itu adalah kehendak atasan. Sehingga hal itu membuat Anda menggantungkan kebahagiaan pada keputusan atasan Anda.

Jika pun Anda mendapatkan promosi jabatan itu, bagaimana perasaan Anda? Mungkin bahagia, tapi perasaan itu hanya sementara. Tidak berapa lama Anda akan mencari hal yang lebih bersinar, seperti mobil mewah atau promosi jabatan yang lebih tinggi lagi.

Apa pun itu, Anda tidak akan merasa puas dengan kenyataan bahwa Anda tidak memiliki apa pun sampai mendapatkannya. Lalu, berusaha mendapatkan hal lain lagi dan lagi. Begitu seterusnya.

Lantas, kenapa kita cenderung menghadapi lingkaran ini? Bagaimana cara kita keluar darinya? Mari cari tahu.

Budaya moderen adalah penyebabnya


Jika ingin keluar dari jebakan itu, Anda perlu tahu cara kerjanya. Hal serupa berlaku pada lingkaran keinginan yang tak pernah berakhir. Jadi, mari kita pelajari apa saja di belakangnya.

Di dunia moderen, beberapa mekanisme membuat lingkaran ini terus memanjang, seperti iklan, media sosial, dan budaya materialistik. Menonton TV, menjelajahi internet, atau jalan-jalan akan membuat kita melihat seluruh iklan barang.

Hal-hal itu seolah memberi tahu bahwa kita perlu membeli suatu barang untuk terllihat cantik, dihormati, atau efisien. Iklan-iklan itu membuat kita merasa belum cukup cantik, dihormati, atau efisien.

Sementara, ketika kita membalik majalah atau menggeser layar ponsel, foto-foto yang sudah diedit dengan indah yang menunjukkan kehidupan yang lebih baik membanjiri.

Iklan dan foto-foto tersebut bersekongkol seolah ingin mengatakan, "Anda dan kehidupan Anda tidaklah cukup. Anda harus lebih bahagia." Ketika sudah terlanjur mendengarkan kata-kata itu, sulit untuk merasa puas dengan kehidupan kita.

Film, acara TV, video musik, iklan, dan lagu membanjiri mata dan telinga kita dengan luapan gambar dan suara. Makanan dan minuman cepat saji memompa tubuh kita dengan gula dan kafein. Media sosial juga bertindak demikian.

Tiap kali kita berhadapan dengan salah satu sumber stimulasi berlebihan itu, kita menjadi sedikit mabuk. Tidak lama setelah perasaan itu sirna, kita kembali ingin lagi dan lagi dan itu membuat kita ingin mencari sumber itu terus-menerus.

Sementara itu, semakin sering kita mabuk akan hal-hal demikian, semakin mudah kita bosan dan teralihkan. Hal ini membuat kita menginginkan stimulasi yang lebih.

Ketika iklan, media sosial, dan stimulasi lainnya yang berlebihan memacu timbulnya keinginan yang tak akan terpuaskan, ada hal lain yang terjadi.

Kebahagiaan tidak datang dari luar


Seperti yang sudah kita ketahui, budaya moderen mendorong kita untuk menggunakan pendekatan yang salah untuk mendapatkan kebahagiaan.Tapi kita tidak perlu menyalahkan budaya kita.

Semua ini adalah tentang tindakan mencari sumber kebahagiaan dari luar diri kita yang ditakdirkan memberikan kebahagiaan singkat dan fana.

Selama kita terus bergantung pada sumber kebahagiaan eksternal yang fana, kita cenderung bertemu dengan berbagai bentuk perilaku yang merusak diri.

Kita bisa takut kehilangan kebahagiaan itu, yang menghiasi kebahagiaan dengan kecemasaan atau kesedihan. Atau, lebih buruknya, kita bisa mencob terus mempertahannya yang berdampak pada perilaku yang merusak diri.

Contohnya, kita bisa menjadi sosok yang ingin selalu mengendalikan untuk mencegah pasangan meninggalkan kita yang malah akan memperburuk hubungan itu sendiri.

Selain itu, ketika kita mencari kebahagiaan di luar diri kita, merasa tidak puas bisa menjadi kebiasaan mental yang mendarah daging.

Bahkan ketika mendapatkan hal yang diinginkan, pikiran kita terbiasa melihat keluar yang membuatnya terus mencari segala hal di dunia yang bisa menjadi sumber kebahagiaan.

Didorong oleh perilaku kompulsif ini, kita terus mencari hal lain di saat mendatang. Akhirnya, kita  akan terbiasa terus mencoba mencari sesuatu yang di luar jangkauan.

Kebiasaan ini adalah salah satu penyebab mendasar ketidakbahagiaan. Review buku ini akan pindah ke kebiasaan yang bertentangan dengannya.

Penyebab Ketidakbahagiaan


Sejauh ini, kita sudah berfokus pada dampak buruk mencari kebahagiaan di luar diri kita dan memenuhi pikiran dengan semua yang diinginkan. Tapi segala hal yang tidak diinginkan juga menyabotase kesempatan kita mencari kebahagiaan.

Hal-hal itu dapat muncul dengan berbagai macam dan bentuk, dari orang, tempat, dan situasi tertentu yang cenderung kita hindari hingga pikiran, emosi, dan sensasi fisik yang tidak ingin kita alami. Ketika hal-hal itu muncul, kita ingin membuangnya jauh-jauh.

Contohnya, bayangkan ketika kita sakit kepala. Pelipis kita terasa sakit, tapi ada hal lain di luar itu. Jika ingin digambarkan dalam kata-kata, itu seperti, "Tidak, aku tidak mau ini terjadi! Pergi. Tinggalkan aku sendiri."

Sekarang, bayangkan Anda berhenti menolak keberadaan sakit kepala itu. Anda masih bisa merasakan sakit di bagian pelipis, tapi tidak lagi merasakan tekanan menyakitkan dari menolaknya.

Sebaliknya, Anda merasa mulai bisa menerima rasa sakit itu. Sakit kepala itu tidak lagi terlalu mengganggu dan kebahagiaan Anda mulai kembali seperti semula.

Hal yang sama berlaku pada semua hal yang tidak diinginkan yang kita tolak. Hal yang sama juga berlaku pada hal-hal yang ingin kita miliki. Jika kita berhenti berusaha memilikinya, kita akan berhenti merasa tidak puas dan tekanan yang datang dari hal itu.

Di sini kita sampai ke satu titik yang paling penting dalam memahami kebahagiaan. Penderitaan kita tidak disebabkan oleh hal-hal yang ingin kita singkirkan atau peroleh, tetapi karena tindakan penyingkiran dan usaha untuk mendapatkan itu sendiri.

Hal ini mengarahkan kita pada solusi agar dapat terbebas dari ketidakbahagiaan: Berhenti menolak hal yang tidak diinginkan. Berhenti berusaha mendapatkan hal-hal yang tidak dimiliki.

Tentu saja semua itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, tapi semua itu dapat dilakukan. Sekarang dalam ulasan buku ini kita bisa mempelajari cara melakukannya.

Mengamati


Jika ingin melatih otot, Anda memulainya dengan berolahraga. Dengan melakukan latihan kekuatan, Anda bisa mendapatkan otot yang diinginkan.

Hal yang sama juga berlaku ketika ingin menguatkan kemampuan pikiran yang dalam hal itu adalah otot mental. 

Anda pasti pernah mendengarnya, dan mungkin telah mencobanya. Latihan ini adalah rahasia umum yang sudah dibicarakan banyak orang: meditasi.

Jika jawabannya tidak sesuai harapan, Anda boleh kecewa. Anda juga bisa protes dengan berkata, "Bagaimana mungkin cara memahami sifat bahagia dan tidak bahagia adalah dengan meditasi?!"

Jawabannya adalah: mungkin. Dan sekarang Anda berada di posisi memahami seluruh inti meditasi, yang tidak dipahami banyak orang.

Di kebudayaan populer, meditasi sering disalahpahami sebagai cara untuk menghilangkan stres. Selama 15 menit setiap hari, kita melupakan ingar-bingar kehidupan moderen dan mulai memfokuskan pikiran, tubuh, dan sensasi. Setelahnya, kita akan merasa sangat segar dan siap menghadapi dunia.

Pendekatan meditasi ini tidak hanya kurang tepat, tetapi juga menimbulkan kembali masalah yang ingin diselesaikan. Jika mencoba bermeditasi dengan pikiran seperti itu, pikiran kita berada dalam ketenangan dan mulai menolak segala hal yang mengganggu.

Ketegangan dan konflik dalam diri bertolak belakang dengan ketenangan yang kita cari sehingga kita berakhir kecewa. Itulah yang membuat banyak orang tidak percaya pada meditasi.

Tujuan meditasi bukanlah untuk merasa baik-baik saja ketika sedang bermeditasi. Tetapi untuk membangun kemampuan agar merasa baik-baik saja ketika sedang tidak bermeditasi.

Melatih kesadaran menjadi kebiasaan


Sebagai bentuk latihan mental, meditas pada dasarnya melatih keterampilan mengamati pikiran, emosi, sensasi, dan pengalaman.

Caranya adalah dengan melakukan hal yang sama yang kita lakukaan saat meditasi dengan situasi sehari-hari. Tapi, apa yang sebenarnya kita lakukan saat bermeditasi?

Pada umumnya, latihan meditasi terdiri dari tiga langkah. Langkah pertama, kita memfokuskan pikiran kita pada hal di saat itu. Bagi pemula, hal ini termasuk napas, tubuh, objek visual atau suara di sekitar. 

Tujuannya adalah hanya memfokuskan pada hal yang dialami saat itu. Dalam kesadaran tersebut, kita tidak boleh menolak atau meraih apa pun. Kita hanya menerima dan mengalaminya.

Namun kadang, pikiran kita bisa memikirkan hal-hal yang berada di luar jangkauan. Di sini kita masuk ke langkah kedua, yaitu menyadari bahwa kita terseret.

Langkah ketiga adalah membawa perhatian kita kembali ke saat ini. Dan ketiga langkah itu harus terus diulang.

Sekarang, alasan kenapa latihan meditasi tahap awal dimulai dengan memfokuskan diri pada tubuh dan napas adalah karena semua itu adalah hal-hal yang sedang dilakukan dan dialami.

Namun dalam teori, pikiran awal Anda bisa berupa apa pun. Dengan begitu, Anda bisa mulai meningkatkan latihan meditasi dengan melakukan latihan kesadaran.

Untuk melakukannya, pilih dua atau tiga kegiatan yang biasanya Anda lakukan tanpa perlu berpikir, seperti menggosok gigi, makan, atau naik tangga. Lalu, lakukan meditasi tiap kali Anda melakukannya.

Contohnya, ketika menggosok gigi, fokuslah pada sensasi fisik kegiatan itu, seperti rasa odol dan suara gosokan sikat gigi Anda. Ketika pikiran Anda melayang, amati kemana perginya dan bawa kembali ke kegiatan Anda.

Semakin sering Anda melatih kesadaran diri, semakin cepat Anda memiliki pikiran yang tenang, tidak hanya saat bermeditasi, tetapi juga ketika menghadapi kesulitan.

Namun, semua itu membutuhkan latihan. Buku yang mengajarkan jalan menuju bahagia ini juga memberikan tips untuk mencapainya.

Sadar saat melakukan meditasi


Langkah satu: fokuskan pikiran pada hal yang sedang dialami. Langkah dua: ketahui bahwa pikiran itu teralihkan. Langkah tiga: bawa kembali. Ulangi.

Ketiga langkah itu terdengar mudah, dan memang mudah. Tapi, orang-orang yang pernah melakukannya tahu, meditasi juga bisa sangat sulit.

Fase kedua adalah yang paling menentukan. Ketika pikiran berkelana, kita akan cepat berpikir, "Oh, aku tidak fokus. Cepat fokus ke napas!"

Jika kita melakukan itu, kita malah kembali lagi menolak dan mengekang. Kita menolak pikiran, emosi, atau sensasi, dan kita berusaha meraih patokan awal.

Kuncinya adalah menyadari bahwa pikrian yang ke mana-mana bukanlah kegagalan. Malah, itu penting bagi keberhasilan seluruh kerja keras itu.

Jika pikiran kita tidak berkelana dari patokan awal: napas dan sensasi (langkah satu), kita tidak akan bisa melatih diri menyadari bahwa pikiran kita hanyut (langkah dua) dan memfokuskannya kembali (langkah tiga).

Hanya dengan adanya ketiga langkah itu, kita bisa membangun pikiran tenang. Tanpa salah staunya, hal itu tidak bisa terjadi.

Dengan kata lain, "kesalahan" kehilangan fokus adalah pengalaman belajar dan kesempatan berkembang yang sangat penting.

Setelah berhasil mengaplikasikan kesadaran ini di setiap aspek kehidupan, coba memanfaatkan perilaku baik dan memaafkan tersebut pada diri dan "kesalahan" Anda pada umumnya.

Jika sudah pernah bermeditasi, Anda bisa melakukan itu sekarang karena saat ini kita akan mempelajari tip terakhir yang mungkin saja membuat Anda merasa telah melakukan meditasi dengan "salah".

Tip terakhir itu adalah tidak menutup mata atau memainkan musik menenangkan ketika bermeditasi. Memang hal itu bisa membantu konsentrasi, tapi ingat bahwa tujuannya bukanlah sadar hanya ketika bermeditasi. Tujuannya adalah merasa sadar ketika sedang tidak bermeditasi.

Bermeditasi dengan cara itu, kita bisa lebih mudah menerapkan perilaku sadar diri dengan pikiran tenang dalam situasi apa pun.

Coba momen mikro kesadaran diri.

Setelah 30 hari bermeditasi, Anda mungkin ingin meningkatkan latihan kesadaran diri ini dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari Anda lebih jauh lagi.

Satu cara Anda melakukannya adalah dengan melatih momen mikro kesadaran diri. Ini persis seperti bermeditasi, tapi latihannya lebih singkat.

Anda bisa memilih suasana apa saja yang ingin Anda pilih untuk "disadari". Anda juga bisa melakukannya ketika sedang duduk di MRT atau menunggu antrean.

Semoga ulasan buku ini benar-benar bisa membawa Anda kepada kebahagiaan. Jika tidak, setidaknya buku ini telah menjelaskan kebenaran dari praktik meditasi.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments